Eksepsi

Sebelumnya, perlu untuk diingat kembali, bahwa jawaban atas surat gugatan penggugat pada umumnya terdiri dari dua bagian, yang pertama yakni eksepsi dan yang kedua yakni bantahan pokok perkara. Dan jika akan dilakukan gugatan balik (rekompensi) maka ditambah lagi dengan dalil gugatan dan lain-lain sesuai dengan surat gugatan. Pada artikel ini penulis hanya akan membahas tentang eksepsi saja.

Pengertian

Dalam konteks hukum acara kata ‘eksepsi’ bermakna tangkisan atau bantahan yang diajukan oleh tergugat menyangkut tentang formalitas surat gugatan.[1] Misalnya terkait dengan kompetensi pengadilan, sah tidaknya surat kuasa, salah pihak, dan lain-lain. Sehingga, surat gugatan itu dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk).

Jenis Eksepsi

Eksepsi kompetensi

Hal ini tentunya berkaitan dengan batahan pihak tergugat, yang berisi bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkara tersebut, baik itu berkenaan dengan kompetensi absolut maupun kompetensi relatif. Mengenai kompetensi pengadilan dapat ilihat di artiket berikut ( Kompetensi Pengadilan (Absolut & Relatif) ).

Eksepsi prosesual

Terdapat banyak jenis eksepsi prosesual ini, namun yang sering sekali diajukan dalam praktik adalah:
  1. Surat kuasa khusus tidak sah. Misalnya jika surat kuasa bersifat umum, dibuat oleh orang yang tidak memiliki kewenangan, dan tidak memenuhi syarat formil, dapat dijadikan dasar untuk mengajukan eksepsi terkait dengan surat kuasa penggugat. Mengenai surat kuasa, lebih jelasnya dapat dilihat di (Surat Kuasa Khusus).
  2. Eksepsi error in persona. Jika terjadi kekeliruan pihak dalam gugatan entah itu salah, kurang, atau lebih, baik itu terjadi pada pihak penggugat atau tergugat, maka hal ini dapat dikategorikan sebagai error in persona. Uraian lebih lengkap terkait dengan error in persona, silahkan lihat pada artikel berikut (Eror In Persona).
  3. Eksepsi ne bis in idem. Terhadap perkara yang dahulu pernah diajukan ke pengadilan dan diberi putusan kemudian berkekuatan hukum tetap, maka terhadap perkara tersebut tidak dapat diajukan kembali ke pengadilan. Untuk rincian mengenai nebis in idem silahkan lihat pada artikel berikut (Ne Bis In Idem).
  4. Eksepsi obscuur libel. Obscuur libel maksudnya ialah formulasi gugatan yang tidak jelas, karena salah satu syarat formil surat gugatan yakni harus diuraikan dengan terang dan jelas. Mengenai eksepsi obscuur libel ini lebih jelasnya dapat disimak pada artikel berikut (obscuur libel).

Eksepsi hukum materil

Menurut Yahya Harahap terdapat beberapa eksepsi hukum materil, diantaranya:[2]
  1. Exceptio dilotoria atau dilatoria exceptie. Artinya gugatan penggugat belum dapat diterima untuk diperiksa di pengadilan karena masih prematur atau terlalu dini. Misalnya dalam kesepakatan kontrak perjanjian ditentukan bahwa jika terjadi sengketa maka wajib menyelesaikan melalui jalur musawarah dan mufakat, jika tidak tercapai kata sepakat selama 6 bulan maka para pihak dapat mengajukan gugatan ke pengadilan. Dalam kondisi seperti ini, jika penggugat mengajukan gugatan ke pengadilan pada waktu 3 bulan sejak terjadi sengketa, maka dengan kondisi demikian tergugat dapat mengajukan eksepsi dilotoria, karena belum saatnya untuk mengajukan gugatan.
  2. Exceptio peremprotia. Yakni eksepsi yang berisi sangkalan, yang dapat menyingkirkan gugatan karena masalah yang digugat tidak dapat diperkarakan. Misalnya seperti perikatan yang telah hapus, tidak dapat diajukan gugatan terhadap perikatan yang telah hapus tersebut. Tentang hapusnya perikatan, dapat dilihat pada artikel (Kontrak - Suatu Kerangka). Selanjutnya eksepsi peremprotia ini dibagi lagi menjadi:

a.       Exceptio tempotis (eksepsi daluarsa)
Hal ini terkait dengan salah satu cara batalnya kontrak yakni lewat waktu atau daluarsa yang diatur dalam Pasal 1946 KUHPerdata, dan Pasal 1967 – Pasal 1977 KUHPerdata. Artinya jika suatu perjanjian telah daluarsa / lewat waktu, kemudian diajukan gugatan ke pengadilan terkait dengan perjanjian tersebut, maka tergugat dapat mengajukan eksepsi temporis.
b.      Exceptio non pecuniae numeratae
Yakni eksepsi yang berisi sangkaan tergugat sebagai tertagil, bahwa uang yang dijanjikan untuk dibayar kembali tidak pernah diterima. Atau bahasa sederhananya bahwa tergugat menyangkal bahwa ia pernah menerima uang pembayaran. Tentu diterima atau tidaknya eksepsi jenis ini sangat tergantung dari kemampuan tergugat untuk membuktikannya.
c.       Exceptio doli mali
Yakni eksepsi yang menyatakan bahwa penggugat telah menggunakan tipu daya dalam pembuatan perjanjian. Hal ini berkaitan dan sekaligus di dasari oleh Pasal 1328 KUHPerdata.[3]
d.      Exceptio metus
Disebut juga exceptio metus causa, yakni gugatan yang diajukan penggugat bersumber dari perjanjian yang mengandung paksaan (dwang) atau compulsion (duress). Eksepsi ini di dasari dengan ketentuan Pasal 1323 KUHPerdata[4].
e.       Exceptio non adimpleti contractus
Eksepsi ini berkaitan dengan perjanjian timbal balik. Yang mana jika dalam sebuah kontrak yang menjadi dasar sengketa tersebut ada perjanjian bahwa tergugat akan melaksanakan kewajibannya jika penggugat melakukan suatu hal. Jika penggugat belum melakukan suatu hal tersebut, maka dia tidak dapat melakukan gugatan, artinya belum ada terjadi wanprestasi.
f.        Exceptio dominii
Artinya ialah, bahwa objek yang menjadi dasar gugatan bukan barang milik tergugat, namun hal ini tergantung dari kemampuan penggugat untuk membuktikan bahwa barang tersebut adalah milik tergugat.
g.      Exceptio litis pendentis
Eksepsi ini disebut juga exceptio sub-judice, artinya gugatan yang diajukan masih berlangsung atau sedang berjalan pemeriksaannya di pengadilan (under judicial consideration), tanpa harus dalam pengadilan yang kompetensinya sama.



Regards



[1] Yahya Harahap, “Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Putusan Pengadilan”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hal. 418.
[2] Ibid, Hal. 457 – 462.
[3] Pasal 1328 KUHPerdata berbunyi “Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu persetujuan, bila penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat. Penipuan tidak dapat hanya dikira-kira, melainkan harus dibuktikan”.
[4] Pasal 1323 KUHPerdata menyatakan “Paksaan yang diakukan terhadap orang yang mengadakan suatu persetujuan mengakibatkan batalnya persetujuan yang bersangkutan, juga bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan dalam persetujuan yang dibuat itu”.

Mas Yadi

Author :

Seluruh artikel yang ada di Blog ini merupakan karya dari penulis sendiri, dan jika ada karya dari orang lain, maka sebisa mungkin akan penulis cantumkan sumbernya. Untuk memberikan Masukan, Saran, Sanggahan, dan Pertanyaan, silahkan menggunakan link Contact yang tersedia. Semoga artikel ini bermanfaat untuk Anda.
Share Artikel