Verstek
Putusan verstek ini
diatur dalam HIR Pasal 124 – 129, dan RBG Pasal 148 – 153, serta RV dalam Pasal
77 – 91a.
Definisi
Istilah “Acara Luar Hadir” dijumpai
juga dalam kamus hukum sebagai terjemahan dari verstek procedure, dan verstekvonnis
diberi istilah putusan tanpa hadir atau putusan diluar hadir tergugat atau
penggugat.[1]
Penggugat
Tidak Hadir
Pasal 124 HIR menyatakan:[2]
“Jika
penggugat tidak datang menghadap
pengadilan negeri pada hari yang ditentukan itu, meskipun ia dipanggil dengan sah, pula tidak menyuruh orang lain menghadap sebagai
wakilnya, maka tuntutannya dianggap
gugur dan ia dihukum membayar biaya
perkara; tetapi ia berhak mengajukan gugatannya sekali lagi, sesudah
membayar biaya tersebut. (RV. 77; IR. 85, 102, 122 dst,, 126.)”.
Uraian
unsur – unsur pasal di atas ialah:
- Penggugat telah dipanggil dengan sah. Artinya pemanggilan penggugat harus sesuai dengan prosedur, baik itu terkait dengan jangka waktu pemanggilan, pihak yang berwenang memanggil serta bentuk dan tata cara pemanggilan.
- Meskipun sudah di panggil secara sah, penggugat tidak datang menghadap PN pada hari yang ditentukan dalam surat pemanggilan tersebut.
- Juga tidak menyuruh orang lain menghadap sebagai wakilnya (Pengacaranya), jika penggugat berhalangan untuk datang. Sebab jika penggugat tidak bisa datang pada hari pemanggilan itu, maka dia berhak untuk diwakilkan oleh wakilnya yang dia tunjuk dan memiliki kewenangan misalnya seperti menunjuk seorang kuasa hukum (advokat/pengacara).
- Putusan atas ketidak hadiran tergugat atau kuasanya berupa Gugurnya tuntutan penggugat dan dihukum untuk membayar biaya perkara. Hal ini tentu sangat beralasan, karena pihak yang berkepentingan tidak dengan sungguh-sungguh untuk melakukan gugatan, sehingga hakim tanpa harus memeriksa pokok perkara yang menjadi dasar gugatan penggugat harus langsung menjatuhkan putusan gugurnya gugatan tersebut.
- Putusan gugurnya gugatan karena ketidak hadiran penggugat menutup kemungkinan diajukannya upaya hukum oleh penggugat terhadap putusan tersebut, namun penggugat hanya diberikan hak untuk mengajukan perkara tersebut sekali lagi, dalam bentuk perkara baru, dengan syarat sudah membayar biaya perkara.
Tergugat Tidak Hadir
Untuk
putusan verstek yang dijatuhkan
karena ketidak hadiran tergugat, hal ini diatur dalam Pasal 125 HIR yang
berbunyi:[3]
- Jika tergugat, meskipun dipanggil dengan sah, tidak datang pada hari yang ditentukan, dan tidak menyuruh orang lain menghadap sebagai wakilnya, maka tuntutan itu diterima dengan keputusan tanpa kehadiran (verstek), kecuali kalau nyata bagi pengadilan negeri bahwa tuntutan itu melawan hak atau tiada beralasan. (RV. 78; IR. 102, 122 d,t.)
- Akan tetapi jika si tergugat, dalam surat jawabannya tersebut pada pasal 121, mengemukakan eksepsi (tangkisan) bahwa pengadilan negeri tidak berkuasa memeriksa perkaranya, maka meskipun ia sendiri atau wakilnya tidak datang, wajiblah pengadilan negeri mengambil keputusan tentang eksepsi itu, sesudah mendengar penggugat itu; hanya jika eksepsi itu tidak dibenarkan, pengadilan negeri boleh memutuskan perkara itu.
- Jika tuntutan diterima, maka keputusan pengadilan atas perintah ketua, harus diberitahukan kepada si terhukum, dan harus diterangkan bahwa ia berhak mengajukan perlawanan terhadap keputusan pula kepadanya, putusan tak hadir di muka majelis pengadilan itu dalam waktu dan dengan cara yang ditentukan pada pasal 129.
- Panitera pengadilan negeri akan mencatat dibawah keputusan tak hadir itu siapa yang diperintahkan menyampaikan pemberitahuan dan keterangan itu, baik dengan surat maupun dengan lisan.
Unsur-unsur
dari pasal di atas jika diurai kembali secara singkat dan jelas maka:
- Tergugat telah dipanggil dengan sah. Tentu dengan melihat kriteria dan tata cara pemanggilan yang sah, yakni harus sesuai dengan prosedur, baik itu terkait dengan jangka waktu pemanggilan, pihak yang berwenang memanggil serta bentuk dan tata cara pemanggilan.
- Tidak menyuruh orang lain menghadap sebagai wakilnya (Pengacaranya).
- Tidak hadir dalam sidang yang ditentukan sesuai dengan yang tercantum dalam surat pemanggilan sidang.
- Maka hakimberwenang menjatuhkan putusan verstek.
- Hal yang menarik, yang dapat menjadi salah satu perbedaan antara ketiddak hadiran penggugat dengan ketidak hadiran tergugat, yakni jika penggugat tidak hadir maka hakim menjatuhkan putusan gugur tanpa harus melihat ini pokok perkara/tuntutan. Namun jika yang tidak hadir adalah tergugat hakim diharuskan mencermati pokok isi perkara/tuntutan, sehingga meskipun tergugat tidak hadir, hakim dapat memutuskan untuk menolak gugatan dengan syarat bahwa tuntutan itu melawan hak atau tidak beralasan.
- Meskipun tergugat atau kuasanya tidak datang menghadap sidang yang ditentuakan dalam surat pemanggilan, namun dia berhak mengajukan eksepsi (tangkisan) terkait dengan wewenang pengadilan untuk memeriksa perkara tersebut, sesuai dengan kompetensi pengadilan. Dan jika penggugat mengajukan eksepsi ini maka majelis hakim akan meminta penggugat untuk menanggapi eksepsi tersebut, dan wajib memberikan putusan terhadap eksesi itu. Setelah itu, bersamaan dengan putusan tentang eksepsi itu, hakim berwenang menjatuhkan putusan vertek.
- Jika tuntutan penggugat diterima maka putusan tersebut diberitahukan kepada pihak yang kalah (terhukum) baik dengan surat atau lisan (namun lebih diakui dengan surat), serta memberitahukan terkait dengan haknya untuk melakukan upaya hukum terhadap putusan verstek tersebut.
Tidak hadir dengan
alasan
Menurut
Yahya Harahap bahwa alasan yang sah, yang dapat dijadikan dasar untuk tidak
hadir dalam sidang sesuai dengan surat pemanggilan sidang terdiri dari tiga
hal:[4]
- Karena sakit yang dibuktikan dengan keterangan dokter;
- Berada di luar kota atau luar negeri yang didukung dengan surat keterangan dari pihak yang berkompeten untuk itu; dan
- Sedang melaksanakan tugas menjalankan perintah atasan yang tidak dapat ditinggalkan.
Pengunduran Sidang
Jika
penggugat atau tergugat tidak hadir dalam pemanggilan pertama, dan hakim
langsung menjatuhkan putusan verstek,
maka tindakan ini dianggap sebagai tindakan sewenang-wenang. Sehingga sangat
bijaksana seorang hakim mengundurkan sidang jika penggugat atau tergugat tidak
hadir. Hal ini juga diamanatkan dalam Pasal 126 HIR yang menyatakan:[5]
“Dalam hal tersebut pada kedua
pasal di atas ini, pengadilan negeri, sebelum menjatuhkan keputusan, boleh memerintahkan supaya pihak yang tidak
datang dipanggil sekali lagi untuk menghadap pada hari persidangan lain,
yang diberitahukan oleh ketua dalam persidangan kepada pihak yang datang; bagi
pihak yang datang itu, pemberitahuan itu sama dengan panggilan”.
Perlu dicermati dalam pasal di atas bahwa berlakunya pemanggilan
kembali tidak hanya kepada trgugat yang tiddak hadir namun juga kepada
penggugat yang tidak hadir. Kemudian Jika mencermati bunyi pasal di atas, maka
pengunduran sidang dan pemanggilan kembali hanya dapat dilakukan sekali saja.
Artinya setelah itu, maka hakim langsung menjatuhkan putusan verstek jika tergugat tetap tidak datang
pada pemanggilan pertama dan ke dua, dan putusan gugur untuk jika yang tidak
hadir adalah penggugat. Namun menurut Yahya Harahap, berdasarkan prinsip fair trial sesuai dengan audi alterem partem, maka batas
toleransi yang dapat dibenarkan hukum dan moral ialah minimal dua kali dan
maksimal tiga kali.[6]
Tergugat Lebih Dari
Satu Orang
Ketentuan
hukum jika tergugat lebih dari satu, terdapat dalam Pasal 127 HIR yang menyatakan:[7]
Jika
seorang tergugat atau lebih tidak menghadap dan tidak menyuruh orang lain menghadap sebagai
wakilnya, maka pemeriksaan perkara
itu akan ditangguhkan sampai pada hari persidangan lain, yang tidak lama
sesudah hari itu penangguhan itu diberitahukan dalam persidangan kepada pihak
yang hadir, dan bagi mereka pemberitahuan itu sama dengan panggilan; sedang si tergugat yang tidak datang, atas
perintah ketua, harus dipanggil sekali
lagi untuk menghadap pada hari persidangan yang lain. Pada hari itulah perkara itu diperiksa, dan
kemudian diputuskan bagi sekalian pihak dengan satu keputusan, yang terhadapnya
tak boleh diadakan perlawanan keputusan tanpa kehadiran. (RV. 81.)
Jika seluruh tergugat kompak untuk tidak hadir, maka penerapan
ketentuan sama saja dengan jika tergugat hanya satu. Namun jika tergugatnya ada
4 orang, dalam sidang pertama hanya 2 orang yang hadir, maka berdasarkan Pasal
127 HIR di atas hakim wajib menunda sidang dan memerintahkan untuk dipanggil
kembali pihak tergugat yang tidak hadir. Kemudian sampai pada hari pengunduran
sidang tersebut, tergugat yang dipanggil kembali karena tidak hadir pada
pemanggilan pertama tersebut tidak hadir lagi, maka sidang tetap dilanjutkan
dengan pemeriksaan secara Kontradiktoir (Contradictoir).
Hal semacam ini dapat mengacu kepada Yurisprudensi MA
No. 314 K/Sip/1973, Tanggal 31 Desember 1973, yang menyatakan:
“Karena
putusan Pengadilan Negeri Jakarta No. 124/1972 G. bukan merupakan putusan verstek ex pasal 125 R.I.D. melainkan putusan “op tegenspraak” (contradictoir)
ex pasal 127 R.I.D. dalam hal mana seorang dari 2 tergugat
tidak hadir.
terhadap
putusan tersebut upaya hukumnya bukan verzet
melainkan banding; hanya karena dalam hal ini adalah mengenai merk, upaya hukumnya
adalah kasasi”.
Namun bagimana misalnya jika tergugat yang jumlahnya 4 orang
tersebut gantian tidak hadir. Dalam pemanggilan pertama 2 orang hadir. Dilakukan
pemanggilan kembali. Pada pemanggilan ke dua, 2 orang yang tidak hadir dalam
pemanggilan pertama hadir dalam persidangan, namun 2 orang yang hadir dalam
pemanggilan pertama itu tidak hadir kembali, maka sidang dilanjutkan dengan
pemeriksaan secara Kontradiktoir.[8] Hal
semacam ini penting karena upaya hukum terhadap putusan Kontradiktoir adalan
banding, sedangkan upaya hukum terhadap putusan verstek adalah verzet.
Regards
[1] Yahya Harahap, “Hukum Acara
Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Putusan
Pengadilan”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hal. 381.
[2] Lihat
Juga, Pasal 148 RBG, dan Pasal 77 RV.
[3] Lihat
Juga Pasal 149 RBG dan Pasal 78 RV.
[4] Yahya Harahap, Op., Cit., hal. 387.
[5] Lihat
Juga Pasal 150 RBG.
[6] Yahya
Harahap, Op., Cit., Hal. 389-390.
[7] Lihat
Juga Pasal 151 HIR. Dan Pasal 81 RV.
[8] Yahya
Harahap, Op., Cit., Hal. 393-394.