Macam
- Macam Sita Dalam Hukum Perdata
Sita Revindikasi (Revindicatoir Beslag)
Revindicatoir
memiliki asal kata Revindiceer yang berarti mendapatkan. Sedangkan Beslag
berarti Penyitaan (belanda). Sehingga Revindicatoir Beslag berarti penyitaan
untuk mendapatkan hak kembali.[1]
Ketentuan terkait dengan sita revindikasi ini terdapat dalam KUHPerdata HIR,
RBG, maupun RV.
HIR
mengatur tentang sita revidikasi dalam Pasal 226 yang berbunyi:
- Pemilik barang bergerak, boleh meminta dengan surat atau dengan bantuan kepada ketua pengadilan negeri yang berkuasa di tempat diam atau tempat tinggal orang yang memegang barang itu supaya barang itu disita.
- Barang yang hendak disita itu harus diterangkan dengan jelas dalam permintaan itu.
- Jika permintaan itu diluluskan, maka penyitaan akan dilakukan menurut surat perintah ketua. Tentang orang yang harus melakukan penyitaan itu dan tentang persyaratan yang harus dipenuhi, berlaku juga pasal 197.
- Panitera pengadilan harus segera memberitahukan penyitaan itu kepada orang yang mengajukan permintaan, dan menerangkan kepadanya, bahwa ia harus menghadap persidangan pengadilan negeri berikutnya untuk mengajukan dan meneguhkan gugatannya.
- Orang yang memegang barang yang disita itu harus dipanggil atas perintah ketua untuk menghadap persidangan itu.
- Pada hari yang ditentukan, pemeriksaan perkara dan pengambilan keputusan dijalankan dengan cara biasa. (TR. 130 dst., 139 dst., 155 dst., 163 dst., 178 dst.)
- Jika gugatan itu diterima, maka penyitaan itu disahkan, lalu diperintahkan supaya barang yang disita itu diserahkan kepada si penggugat; sedang kalau gugatan itu ditolak, harus diperintahkan supaya dicabut penyitaan itu.
Sementara
itu, dalam RBG ketentuan tentang sita revidikasi terdapat dalam Pasal 260 yang
berbunyi:
- Seorang pemilik suatu barang bergerak dapat memohon kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan orang yang memegang/menguasai barang itu, dengan cara tertulis atau lisan, agar dilakukan penyitaan atas barang yang dikuasai itu.
- Barang yang harus disita harus diterangkan dengan teliti dalam permohonannya itu.
- Jika penyitaan dikabulkan, maka penyitaan dilakukan dengan perintah tertulis dari ketua, ditetapkan pula siapa yang harus melakukan penyitaan serta tata cara yang harus diturut dengan mengikuti apa yang diatur dalam pasal 208-212.
- Penyitaan yang telah dilakukan segera diberitahukan oleh panitera kepada pemohon sita dengan diberitahukan pula, bahwa ia harus hadir pada hari persidangan yang akan datang agar mengajukan dan menguatkan tuntutannya.
- Orang, yang barangnya disita, diperintahkan juga untuk hadir pada persidangan itu.
- Pada hari yang sudah ditentukan, maka persidangan dilakukan dengan cara yang biasa dan diputus tentang hal itu.
- Jika gugatan dikabulkan, maka sitaan dinyatakan sah dan berharga dan diperintahkan agar barang yang disita diserahkan kepada penggugat, sedangkan jika gugatan ditolak, maka diperintahkan agar sita diangkat. (Rv. 714 dst.; IR. 226.)
Yang
harus menjadi perhatian inti dalam kedua pasal dan ketentuan di atas yakni:
- Pemohon sita revindikasi adalah pemilik barang.
- Harus merupakan barang bergerak. Jika dikaitkan dengan Pasal 1977 KUHPerdata yang menganut doktrin bezit geld als volkomen title yang berarti penguasaan atas barang bergerak dianggap sebagai bukti pemilikan yang sempurna atas barang itu,[2] maka adanya hak penggugat untuk memohon sita revindikasi dalam hal ini menjadi sangat penting.
- Barang yang akan dimohonkan sita revindikasi tersebut harus diterangkan dengan jelas. Hal ini tentu bertujuan guna memberi kepastian barang tersebut dan memudahkan dalam proses penyitaan jika dikabulkan.
RV
juga mengatur terkait dengan sita revindikasi ini dalam Pasal 714 yang menyatakan “(s.d.u. dg. S. 1908-522.) Barangsiapa mempunyai hak menuntut kembali atau
hak reklame atas barang bergerak dapat menyitanya. (KUHPerd. 509 dst., 574,
582 dst., 1145, 1702, 1741, 1977; KUHD 230 dst., 240, 555; Rv. 763h dst., 924,
971; IR. 226; RBg. 260.)”
Sementara
itu di dalam KUHPerdata memuat beberapa ketentuan yang terkait dengan tindakan –
tindakan yang dapat di ajukan permohonan sita revindikasi misalnya dalam hal
pinjam barang (lihat Pasal 1751 KUHPerdata), atau berdasarkan hak reklame (Reclamerecht) seperti yang telah ditegaskan
di dalam Pasal 714 RV di atas (lihat Pasal 1145 KUHPerdata).
Sita
Jaminan (Conversatoir Beslag)
Terhadap
sita jaminan, diatur dalam Pasal 227 HIR, yang mana bunyi Pasal 227 (1) HIR
ialah:
“Jika ada dugaan yang
beralasan, bahwa seorang debitur,
sebelum keputusan hakim yang mengalahkannya
dijatuhkan atau boleh dijalankan, mencari
akal untuk menggelapkan atau melarikan barangnya, baik yang tak
bergerak maupun yang bergerak; dengan maksud untuk menjauhkan barang itu dari kreditur atas surat permintaan
orang yang berkepentingan, ketua pengadilan boleh memberi perintah, supaya disita barang itu untuk menjaga hak
orang yang memerlukan permintaan itu; kepada si peminta harus diberitahukan
bahwa ia harus menghadap persidangan pengadilan negeri berikutnya untuk
mengajukan dan menguatkan gugatannya. (Rv. 720 dst.; IR. 124 dst., 1 163 dst.)”
Dan di dalam RBG diatur pada Pasal 261, yang mana dalam ayat satu
dikatakan:
“Bila ada dugaan yang
berdasar, bahwa seorang debitur
yang belum diputus perkaranya atau yang telah
diputus kalah perkaranya tetapi betum dapat dilaksanakan, berusaha untuk menggelapkan atau
memindahkan barang-barang bergeraknya atau yang tetap, agar dapat dihindarkan jatuh ke tangan
kreditur, maka atas permintaan pihak yang berkepentingan, ketua pengadilan
negeri atau jika debitur bertempat tinggal atau berdiam di luar wilayah jaksa
di tempat kedudukan pengadilan negeri atau jika ketua pengadilan negeri tidak
ada di tempat tersebut, jaksa di tempat tinggal atau tempat kediaman debitur
dapat memerintahkan penyitaan
barang-barang tersebut agar dapat menjamin hak si pemohon, dan sekaligus
memberitahukan padanya supaya menghadap di pengadilan negeri pada suatu hari
yang ditentukan untuk mengajukan gugatannya serta menguatkannya. (Rv. 720 dst.)”
Beberapa ketentuan terkait dengan unsur-unsur yang perlu
diperhatikan dari kedua pasal di atas ialah:
- Adanya dugaan yang beralasan dari pihak yang memohon sita jaminan tentang adanya kemungkinan debitur mengalihkan atau menggelapkan hartanya.
- Permintaan sita jaminan diajukan terhadap seorang debitur.
- Permohonan sita jaminan diajukan sebelum dijatuhkannya putusan hakin, atau meskipun putusan hakin sudah ada namun putusan tersebut belum dapat dilaksanakan maka masih dapat diajukan permohonan sita jaminan.
- Obejek sita jaminan adalah barang-barang bergerak dan tidak bergerak.
- Objek sita jaminan merupakan milik dari debitur (ini yang menjadi perbedaan mendasar dengan sita revindikasi.
- Tujuan dari sita jaminan adalah untuk menjamin hak-hak pemohon, jika nantinya hakim memutuskan untuk mengabulkan gugatan pemohon.
Sederhananya, bahwa jika penggugat membuat gugatan dengan meminta
ganti rugi, uang paksa, atau bentuk kompensasi lainnya, maka untuk memastikan
permintaannya tersebut tidak hanya menang di atas kertas saja sehingga perlu
untuk meminta sita jaminan. Artinya jika permohonan penggugat dalam gugatan dikabulkan
oleh majelis hakim, dan ternyata selama proses peradilan berlangsung tergugat
telah memindahkan atau menggelapkan harta kekayaan miliknya, maka ketika akan
melaksanakan eksekusi putusan, tidak ada lagi yang bisa
diambil atau tidak ada lagi yang dapat digunakan oleh tergugat yang kalah untuk
memenuhi isi putusan tersebut. Sehingga sangat penting untuk meminta adanya
Sita Jaminan (Conversatoir Beslag) dalam
mengajukan gugatan.
Sita
Harta Bersama (Marital Beslag)
Sita
harta bersama merupakan bentuk sita khusus yang diterapkan terhadap harta bersama
suami – istri, apabila terjadi sengketa perceraian atau pembagian harta
bersama.[3] Aturan
terkait dengan sita harta bersama terdapat dalam KUHPerdata, UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, PP No. 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan RV.
KUHPerdata
mengatur tentang sita harta bersama dalam Pasal 190 yang berbunyi “Selama
penyidangan, isteri boleh melakukan tindakan-tindakan, dengan seizin Hakim,
untuk menjaga agar barang-barangnya tidak hilang atau diboroskan si suami.”
UU
No. 7 Tahun 1989 mengatur tentang sita harta bersama dalam Pasal 78 yang
menyatakan
“Selama
berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat, Pengadilan dapat:
a)
menentukan
nafkah yang ditanggung oleh suami;
b)
menentukan
hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak;
c)
menentukan
hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak
bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau
barang-barang yang menjadi hak istri”.
PP
No. 9 Tahun 1975, mengatur tentang pembagian harta bersama dalam Pasal 24 (2):
“Selama berlangsungnya gugatan
perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan dapat :
a.
Menentukan
nafkah yang harus ditanggung oleh suami;
b.
Menentukan
hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak;
c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk
menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami-isteri
atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak
isteri”.
Sita
Eksekusi (Executorial Beslag)
Hal
ini terkait dengan proses eksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Ketentuan
terkait dengan sita eksekusi ini diatur dalam Pasal 197 HIR yang mana ketentuan
dalam ayat satu menyatakan:
“Jika
sudah lewat waktu yang ditentukan itu, sedangkan orang yang kalah itu belum
juga memenuhi keputusan itu, atau jika orang itu, sesudah dipanggil dengan sah,
tidak juga menghadap, maka ketua, karena jabatannya, akan memberi perintah
dengan surat, supaya disita sekian barang bergerak dan jika yang demikian tidak
ada atau ternyata tiada cukup, sekian barang tak bergerak kepunyaan orang yang
kalah itu, sampai dianggap cukup menjadi pengganti jumlah uang tersebut dalam
keputusan itu dan semua biaya untuk melaksanakan keputusan itu”.
Selain
itu RBG mengatur tentang sita eksekusi dalam Pasal 208 yang menyatakan:
“Bila
setelah lampau tenggang waktu yang telah ditentukan, putusan hakim tidak
dilaksanakan atau pihak yang kalah tidak datang menghadap setelah dipanggil,
maka ketua atau jaksa yang diberi kuasa karena jahatannya mengeluarkan perintah
untuk menyita jumlah barang-barang bergerak dan, jika jumlahnya diperkirakan
tidak akan mencukupi, juga sejumlah barang-barang tetap milik pihak yang kalah
sebanyak diperkirakan akan mencukupi untuk membayar jumlah uang sebagai
pelaksanaan putusan, dengan batasan bahwa di daerah Bengkulu, sumatera Barat
dan Tapanuli, hanya dapat dilakukan penyitaan atas harta (harta pusaka) jika
tidak terdapat cukup kekayaan dari harta pencarian baik yang berupa barang bergerak
maupun barang tetap. (Rv. 444; IR. 1971.)”.
Sita
eksekusi ini dapat juga menjadi kelanjutan dari sita jaminan. Maksudnya ialah,
jika telah dinyatakan sita jaminan
terhadap harta tergugat, maka setelah putusan itu berkekuatan hukum
tetap otomatis sita jaminan berubah menjadi sita eksekusi guna melakukan proses
eksekusi. Namun jika tidak dinyatakan sita jaminan sebelumnya, dan telah ada
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap maka pertama-tama pihak yang
kalah akan diminta untuk melaksanakan isi putusan dengan sukarela, namun jika
tidak dilaksanakan dengan sukarela maka ditetapkanlah sita eksekusi terhadap
harta milik pihak yang kalah, tentunya dengan mengacu kepada ketentuan
perundang-undangan dan peraturan terkait.
Regards
Jun
[1] Ghufron
Sulaiman, pada http://pta-makassarkota.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=356:macam-macam-sita-dalam-hukum-perdata&catid=1:berita&Itemid=180,
diakses tanggal 02 Desember 2013.
[2] Yahya
Harahap, “Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, Putusan Pengadilan”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hal.
327.
[3] Ibid. Hal.
367.
Referensi Lain:
KUHPerdata (BW)
HIR
RBG
RV
PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama