Ne
Bis In Idem
Biasa juga disebut Exception res judicata atau exceptie van gewijsde zaak, yang artinya
terhadap perkara yang sama tidak dapat diperkarakan dua kali.[1]
Misalnya suatu perkara yang telah diputus oleh pengadilan dan berkekuatan hukum
tetap, maka terhadap perkara tersebut tidak dapat lagi diajukan kembali ke
pengadilan.
Dasar
Hukum
Dalam hukum perdata, Pasal 1917
KUHPerdata yang dijadikan dasar untuk persoalan ne bis in idem ini. Bunyi pasal tersebut menyatakan:
“Kekuatan suatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum
yang pasti hanya mengenai pokok perkara yang bersangkutan.
Untuk dapat menggunakan kekuatan itu, soal yang dituntut harus sama; tuntutan harus didasarkan pada alasan yang sama; dan harus diajukan oleh pihak yang sama dan terhadap pihak-pihak yang sama dalam hubungan yang sama pula”.
Yahya Harahap menafsirkan bahwa, ketentuan dalam paragraf ke-dua
Pasal 1917 inilah yang melekat unsur ne
bis in idem atau res judicata.[2]
Kemudian khusus untuk prosedur penanganan perkara ne bis in idem di pengadilan, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran No. 03 Tahun 2002 Tentang
Penanganan Perkara yang Berkaitan Dengan Azas Ne Bis In Idem.
Bentuk Bentuk
Ne Bis In Idem
Berdasarkan
Pasal 1927 KUHPerdata
Jika melihat Pasal 1917 KUHPerdata di atas maka secara singkat
unsur-unsurnya yakni
- Objek yang sama
- Pihak yang sama
- Alasan/dalil gugatan yang sama
Jika semua unsur terpenuhi maka dapat dikategorikan sebagai ne bis in idem. Ketentuan ne bis in idem dalam pasal di atas
tidaklah hanya ditentukan berdasarkan satu unsur saja melainkan dilihat secara
keseluruhan. Hal semacam ini ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Agung No. 647 K/sip/1973 yang menyatakan:
“Ada atau tidaknya azas ne bis in idem tidak
semata-mata ditentukan oleh para pihak saja, melainkan terutama bahwa obyek
dari sengketa sudah diberi status tertentu oleh keputusan Pengadilan Negeri
yang Iebih dulu dan telah mempunyai kekuatan pasti dan alasannya adalah sama”.[3]
Hal semacam ini tentu sangat beralasan mengingat bahwa seorang subjek hukum
bisa saja memiliki banyak hubungan hukum dengan subjek hukum yang sama namun
dengan objek hukum yang berbeda.
Oleh karena itu unsur
yang yang ada dalam pasal 1917 ini berlaku secara komulatif. Salah satu putusan
yang menggambarkan ne bis in idem
karena Objek, pihak, dan dalil gugatan sama yakni Putusan Mahkamah Agung No. 588 K/Sip/1973, menyatakan:
“Karena perkara ini sama
dengan perkara yang terdahulu, baik mengenai dalil gugatannya maupun
obyek-obyek perkara dan juga penggugat-penggugatnya, yang telah mendapat
keputusan dari Mahkamah Agung (putusan tanggal 19 Desember 1970 No. 350
K/Sip/1970), seharusnya gugatan dinyatakan tidak
dapat diterima, bukannya ditolak”.[4]
Sehingga jika satu saja
unsur saja yang tidak terpenuhi maka tidak dapat dikatakan sebagai gugatan yang
mengandung ne bis in idem. Putusan yang
dapat menjadi contoh misalnya Putusan Mahkamah Agung No. 102 K/Sip/1972, yang menyatakan: “Apabila Dalam Perkara baru ternyata para pihak berbeda dengan pihakpihak Dalam Perkara yang sudah diputus lebih dulu,
maka tidak ada “ne bis in idem”.[5] Selain itu ada juga
Putusan Mahkamah Agung No. 1121 K/Sip/1973, yang menyatakan: “Perkara ini benar
obyek gugatannya sama dengan perkara
No. 597/Perd/1971/ P.N. Mdn, tetapi karena pihak-pihaknya
tidak sama tidak ada ne bis in idem”.[6]
Berdasarkan Sifat Putusan
Selain memperhatikan unsur-unsur yang ada
dalam Pasal 1917 KUHPerdata di atas, harus juga memperhatikan sifat putusan
yang diberikan oleh pengadilan terhadap putusan lama tersebut, sebab hal itu
dapat juga mengakibatkan terjadinya ne
bis in indem, dan bentuk seperti itulah yang sangat sering menjadi
perdebatan dengan penuh interpretasi.
Hanya kepada putusan yang bersifat positif-lah
yang mengandung ne bis in idem. Maksud
dari putusan yang bersifat positif ialah bahwa dengan putusan pengadilan
tersebut masalah yang disengketakan telah berakhir dan tuntang atau bersifat litis finiri oppertet.[7] Artinya untuk putusan yang
negatif tidak melekat unsur ne bis in
idem. Bentuh putusan yang bersifat negatif berarti terhadap perkara
tersebut belum memberikan kepastian atau belum tuntang dengan adanya putusan
pengadilan. Putusan pengadilan yang bersifat negatif seperti error
in persona. Contoh konkritnya seperti Putusan Mahkamah Agung No. 1424
K/Sip/1975, yang membenarkan pertimbangan PN yang sebelumnya dibenarkan juga
oleh PT dengan bunyi:
“Eksepsi yang diajukan
oleh tergugat-tergugat, bahwa perkara ini (No. 70/74 G) ne bis in idem dengan perkara No. 114/1974 G harus ditolak, karena: - dalam diktum putusan No. 114/1973 G.
tersebut dinyatakan gugatan tidak dapat diterima sedang dalam pertimbangannya
dinyatakan bahwa tidak dapat diterimanya gugatan ini adalah karena ada kesalahan formil mengenai pihak yang harus digugat ialah orang yang seharusnya digugat belum digugat”.[8]
Selain error
in persona, putusan yang bersifat negatif juga terdapat dalam putusan
terhadap gugatan voluntair yang hanya
berbentuk deklatoir. Dapat diambil
contoh misalnya Putusan Mahkamah Agung No. 144 K/Sip/1973, yang menyatakan:
“Penetapan mengenai ahli waris dan warisan dalam
penetapan Pengadilan Negeri Gresik tanggal. 14 April 1956 No. 43/1955/Pdt/ dan
dalam putusan Pengadilan Negeri Gresik tanggal 23 November 1965 No.
66/1962/Pdt. tidak merupakan ne bis in
idem, oleh karena penetapan No. 43/1955/Pdt. tersebut hanya bersifat deklaratoir sedangkan Dalam Perkara No.
66/1 962/Pdt. tersebut ada sengketa antara pihak-pihak yang berkepentingan”.[9]
Hal seperti ini tentu biasa terjadi
karena, biasanya ahli waris akan mengajukan gugatan voluntair ke pengadilan untuk meminta penetapan ahli waris dan
warisan, kemudian setelah penetapan itu ada pihak yang merasa memiliki terhadap
objek warisan yang sama sehingga terjadi perebutan warisan. Untuk menyelesaikan
sengketa diajukanlah gugatan ke pengadilan terhadap objek yang sama, namun
gugatan kali ini bukan voluntair karena
terdiri dari dua pihak dan ada sengketa di dalamnya. Nah antara gugatan pertama
dan kedua tidak terdapat ne bis in idem
karena meskipun objeknya sama, namun dasar gugatan berbeda dan berbeda antara
pihak dengan para pihak.
Selain putusan error in persona dan voluntair,
putusan yang bersifat negatif dan tidak melekat unsur ne bis in idem ditemukan juga dalam putusan pengadilan terkait
dengan kompetensi pengadilan. Maksudnya
ialah apabila pengadilan memutuskan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena
pengadilan tidak berwenang mengadili perkara tersebut (salah kompetensi baik
absolut maupun relatif), maka terhadap perkara tersebut melekat unsur ne bis in idem, namun perlu dijadikan
catatan bahwa melekatnya unsur ne bis in
idem dalam perkara tersebut hanya terbatas atau berlaku pada pengadilan
negeri yang memutus perkara tersebut. Artinya jika pihak penggugat mengajukan
kembali perkara tersebut ke pengadilan lain (sesuai dengan kompetensi, setelah
dikoreksi), maka tidak melekat unsur ne
bis in idem. Sebagai contoh misalnya Putusan Mahkamah Agung No. 497
K/Sip/1973 yang membenarkan pertimbangan PN dan sebelumnya dibenarkan juga oleh
PT, yang menyatakan:
“Karena terbukti perkara
ini pernah diperiksa dan diputus
oleh Pengadilan Negeri Surakarta gugatan penggugat tidak dapat diterima. pendapat penggugat, bahwa karena diktum
putusan yang terdahulu berbunyi: Pengadilan
tidak berwenang untuk memutuskan perkara ini; maka perkara masih dapat
diperiksa kembali; - tidak dibenarkan”.[10]
kemudian terhadap putusan negatif atas
gugatan yang tidak mempunyai dasar hukum
juga melekat unsur ne bis in idem. Misalnya
dalil gugatan yang tidak berdasarkan sengketa, dalil gugatan berdasarkan
pembebasan pemidanaan atas laporan tergugat, dalil gugatan berdasarkan
perjanjian kausa yang tidak halal, dan gugatan ganti rugi atas kekeliruan hakim
melaksanakan fungsi peradilan.[11]
Berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap
Terhadap putusan yang tidak atau belum
berkekuatan hukum tetap maka tidak melekat ne
bis in idem. Sehingga melekatnya unsur ne
bis in idem hanya kepada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap saja. Dapat diambil contoh misalnya Putusan Mahkamah Agung No. 650
K/Sip/1974, yang menyatakan:
“Dari pertimbangan
keputusan dihubungkan dengan diktumnya yang berbunyi bahwa gugatan
penggugat-penggugat tidak dapat
dikabulkan, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan tidak dapat
dikabulkan adalah bahwagugatan tidak
diterima; karena dalam keptuusan tersebut Pengadilan Negeri mengakui adanya
hak penguggat-penggugat sebagai pemegang saham, hanya tidak sesuai dengan pasal
21 Anggaran Dasar; maka penggugat-penggugat, setelah mengadakan perbaikan
gugatan, dapat mengajukan gugatan
baru dengan tidak ada ne bis in idem
dalam hal ini”.[12]
Dalam kasus tersebut penggugat mengajukan
gugatan ke PN dengan Prdt No. 2/1970, kemudian oleh PN disuruh untuk dicabut
dan diperbaiki karena tidak memenuhi unsur-unsur hukum yang diperlukan. Kemudian
setelah diperbaiki diajukan kembali sebagai perkara baru dengan No. 102/1971
perdt. Tegasnya perkara tersebut belum pernah diperiksa dan belum pernah
berakhir dengan suatu keputusan.
Regards
[1] Yahya Harahap, “Hukum Acara
Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Putusan
Pengadilan”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hal. 439.
[2] Ibid,
Hal. 440.
[3] Tanggal
Putusan: 13-4-1976, dengan susunan Majelis Hakim: BRM. NG.
Hanindyopoetro Sosropranoto. 2. Palti Radja Siregar. 3. Sri Widojati Wiratmo
Soekito S.H.
[4] Tanggal
Putusan: 3-10-1973, dengan Majelis Hakim: 1. Prof. K. Subekti
S.H. 2. Sri Widojati Wiratmo Soekito S.H. 3. Bustanul Arifin SH.
[5] Tanggal
Putusan: 23 Juli 1973, dengan susunan Majelis Hakim: 1. Prof.
R. Sardjono S.H. 2. Bustanul Arifin S.H. 3. Indroharto S.H.
[6] Tanggal
Putusan: 22-10-1975, dengan susunan Majelis Hakim: 1. Dr. K.
Santosa Poedjosoebroto SH. 2. Bustanul Arifin SH. 3. K. Saldiman Wirjatmo SH.
[7] Yahya
Harahap, Op., Cit., Hal. 442 – 443.
[8] Putusan
Tanggal: 8-6-1976, dengan susunan Majelis Hakim: 1. Indroharto
S.H. 2. Sri Widojati Wiratmo Soekito S.H. 3. Achmad Soeleiman S.H.
[9] Putusan
Tanggal: 27 Juni 1973, dengan susunan Majelis Hakim: 1. Prof.
R. Sardjono S.H. 2. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja S.H. 3. Sri Widojati Wiratmo
Soekito S.H.
[10] Putusan
Tanggal: 6-1-1976, dengan susunan Majelis Hakim: 1. D.M.
Lumbanradja S.H. 2. Bustanul Arifin S.H. 3. R.Z. Asikin Kusumah Atmadja S.H.
[11] Yahya
Harahap, Op., Cit., Hal. 446.
[12] Putusan
Tanggal: 18 – 3 – 1976, dengan susunan Majelis Hakim: 1. D.M.
Lumbanradja SH. 2. Samsoedin Aboebakar SH. 3. Indroharto SH.