Pemanggilan Sidang
Terhadap Kasus Perdata

Tahapan sebelum dilakukan pemanggilan:
  1. Menyampaikan gugatan ke PN sesuai dengan Kompetensi Pengadilan, dan dilakukan oleh Penggugat.[1]
  2. Petugas pendaftaran perkara di PN (meja 1) memeriksa kelengkapan berkas, yang selanjutnya akan diberikan persetujuan oleh Ketuan PN.
  3. Petugas pendaftaran memberikan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) yang berjumlah lapis tiga kepada penggugat agar membayar panjar biaya perkara.[2]
  4. Penggugat membayar biaya perkara di Kasir dengan membawa SKUM tersebut.
  5. Kasir menerima pembayaran panjar biaya perkara, memberikan nomor perkara, dan mengembalikan 2 lembat (SKUM) yang telah di stempel.
  6. Penggugat menyerahkan satu lembar SKUM ke petugas pendaftaran perkara (menja 2),
  7. Petugas meja 2 menerima 1 lembar SKUM, menyiapkan blangko-blangko penetapan, dan menyerahkan 1 rangkap salinan surat gugatan yang telah ditandatangani kepada penggugat.
  8. Panitera/sekertaris memeriksa berkas perkara – ketua PN menunjuk majelis hakim – panitera/sekertaris menunjuk panitera pengganti – panitera muda perdata menunjuk juru sita pengganti.
  9. Petugas pendaftana meja satu menyerahkan berkas perkara kepada ketua majelis yang telah ditunjuk
  10. Ketua majelis memeriksa dan mempelajari berkas perkara, selanjutnya menetapkan hari sidang pertama dengan menerbitkan surat penetapan hari sidang yang didalamnya juga dicantumkan tentang perintah kepada panitera atau juru sita untuk memanggil kedua belah pihak.
  11. Panitera pengganti menerima berkas perkara dan meminta juru sita pengganti memanggil kedua belah pihak.

Dasar hukum pemanggilan

Dasar hukum pemanggilan sidang untuk para pihak yakni Pasal 121 HIR[3] yang mana dalam ayat (1) dan (2) menyatakan:
  1. Sesudah surat tuntutan yang diajukan itu atau catatan yang dibuat itu didaftarkan oleh panitera pengadilan dalam daftar untuk itu, maka ketua itu akan menentukan hari dan jam perkara itu akan diperiksa di muka pengadilan negeri, dan memerintahkan pemanggilan kedua belah pihak, supaya hadir pada yang ditentukan itu disertai oleh saksi-saksi yang mereka kehendaki untuk diperiksa, dengan membawa segala surat keterangan yang hendak dipergunakan. (IR. 237 v.)
  2. Ketika memanggil si tergugat, hendaklah diserahkan juga sehelai salinan surat tuntutan, dengan - memberitahukan bahwa ia, kalau mau, boleh menjawab tuntutan itu dengan surat. (IR.123, 388 dst.)

Unsur – Unsur Pasal di atas jika dirinci maka ketentuannya sebagai berikut:
  1. Surat tuntutan/gugatan yang diajukan telah didaftarkan oleh panitera.
  2. Ketuan Majelis Hakim menetapkan hari dan jam perkara tersebut akan diperiksa (dalam hal ini hari sidang pertama), dan dalam surat Penetapan hari sidang pertama dicantumkan perintah untuk pemanggilan.
  3. Tujuan pemanggilan agar kedua belah piha hadir dalam sidang yang telah ditentukan dengan membawa saksi-saksi dan surat keterangan yang akan dipergunakan oleh masing-masing pihak.
  4. Dalam memanggil tergugat harus diserahkan salinan surat tuntutan.
  5. Pada saat pemanggilan, tergugat diberitahukan bahwa ia boleh menyiapkan jawaban atas tuntutan yang diajukan dengan surat.

Yang melakukan pemanggilan

Ketentuan hukum terkait dengan siapa yang berwenang melakukan pemanggilan terdapat dalam Pasal 388 HIR yang menyatakan:
  1. Semua juru sita, pesuruh yang bertugas pada majelis pengadilan, dan pegawai kekuasaan umum sama-sama berhak dan wajib untuk menjalankan, pemberitahuan dan semua surat juru sita yang lain dan untuk melaksanakan perintah dan keputusan hakim. 
  2. Jika tidak ada orang-orang tersebut, maka ketua majelis pengadilan yang dalam daerah hukumnya akan dijalankan surat juru sita itu harus menunjuk seorang yang patut dan dapat dipercaya untuk itu. (RO. 193 edst., 205; Rv. 1; Sv. 422; IR. 165-31, 389; RBg. 716; S. 1895-204.)

Bunyi pasal di atas mungkin membingungkan bagi orang yang tidak berlatar belang pendidikan hukum, karena memang begitulah bahasa hukum, ‘hukum terkadang memiliki dunia dan bahasa tersendiri’. Sehingga jika disederhanakan dengan menggunakan kalimat tata bahasa yang umum digunakan dapat diuraikan sebagai berikut:
  1. Juru sita, pesuruh, dan pegawai pengadilan, memiliki hak dan kewajiban untuk memberitahukan dan menyampaikan surat-surat juru sita yang lainnya.
  2. Juru sita, pesuruh, dan pegawai pengadilan, memiliki hak dan kewajiban untuk melaksanakan perintah dan keputusan hakim. Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa perintah untuk memanggil kedua belah pihak dikeluarkan oleh ketua majelis hakim yang tercantum dalam penetapan hari sidang pertama. Inilah yang menjadi dasar hukum oleh juru sita untuk melakukan pemanggilan.
  3. Jika Juru sita, pesuruh, dan pegawai pengadilan, tidak ada tidak ada, maka ketua majelis hakim harus menunjuk seseorang yang patut dan dapat dipercaya untuk melakukan tugas pemanggilan dan melaksanakan peritah serta putusan hakim.

Cara menyampaikan pemanggilan

Dalam melakukan pemanggilan, kadang kala ditemukan beberapa persoalan, misalnya yang dipanggil tidak berada di tempat, atau telah meninggal, atau tidak diketahui tempat tinggalnya. Terkait dengan hal ini, telah diatur dalam Pasal 390 HIR[4] yang menyatakan:
  1. Tiap-tiap surat juru sita, kecuali yang disebut di bawah ini, harus disampaikan kepada orang yang bersangkutan sendiri di tempat diam atau tempat tinggalnya, dan jika tidak bertemu dengan orang itu di situ, kepada kepala desanya atau beknya, yang wajib dengan segera memberitahukan surat juru sita itu kepada orang itu sendiri, tetapi hal itu tak perlu dinyatakan dalam hukum.
  2. Dalam hal orang yang bersangkutan sudah meninggal, surat juru sita itu disampaikan kepada ahli warisnya; jika ahli waris itu tidak diketahui, maka disampaikan kepada kepala desa atau bek di tempat tinggal terakhir orang yang meninggal itu di Indonesia; kepala desa atau bek itu harus berbuat menurut ketentuan ayat di atas ini.  Jika orang yang meninggal itu termasuk golongan Timur Asing, maka suratjuru sita itu diberitahukan dengan surat tercatat kepada balai harta peninggalan.
  3. (s.d.u. dg. S. 1939-715.) Tentang orang yang tidak diketahui tempat diam atau tempat tinggalnya dan tentang orang yang tidak dikenal, maka surat juru sita itu disampaikan kepada bupati, yang dalam daerahnya terletak tempat tinggal orang yang mendakwa, dan dalam perkara pidana, yang dalam daerahnya berkedudukan hakim yang berhak; bupati itu memaklumkan surat juru sita itu dengan menempelkannya pada pintu utama di tempat persidangan hakim yang berhak itu. (RBg. 718.)

Untuk ketentuan terkait dengan pemanggilan orang yang tidak diketahui tempat tinggalnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 390 (3) HIR di atas, dianggap kurang realistis karena hanya menempelkan pengumuman saja, sehingga perlu juga berpedoman pada ketentuan Pasal 6 poin (7) RV yang pada intinya menyatakan bahwa pengumuman pemanggilan tersebut harus dimuat dalam salah satu harian atau surat kabar yang terbit di wilayah hukum atau yang terbit berdekatan dengan wilayah hukum PN yang bersangkutan.[5]

Waktu

Waktu yang dimaksud di sini ialah, waktu antara pemanggilan dengan hari sidang pertama. Aturan terkait dengan waktu ini terdapat dalam Pasal 122 HIR, dan Pasal 10 RV, serta Pasal 14 RV. Ketentuan dalam Pasal 122 HIR menyatakan:
“Dalam menentukan hari persidangan, ketua hendaklah mengingat jauhnya tempat diam atau  tempat tinggal kedua belah pihak dari tempat pengadilan negeri bersidang, dan waktu antara hari pemanggilan kedua belah pihak dan hari persidangan lamanya tidak boleh kurang dari tiga hari kerja, kecuali jika perkara itu perlu benar lekas diperiksa dan hal itu disebutkan dalam surat perintah itu. (IR. 118, 390, 391.)”

Yahya Harahap berpendapat bahwa ketentuan Pasal 122 HIR di atas merupakan ketentuan untuk pemanggilan dalam keadaan mendesak.[6] Sehingga untuk pemanggilan dalam keadaan umum/biasa lebih relefan digunakan ketentuan yang ada dalam Pasal 10 RV yang pada intinya menyatakan:
  1. 8 hari, apabila tempat tinggal tergugat dengan tempat sidang tidak jauh.[7]
  2. 14 hari, apabila jaraknya agak jauh.[8]
  3. 20 hari, jika jaraknya jauh.[9]

Sedangkan jika ada beberapa orang tergugat yang mempunyai tempat tinggal yang berbeda-beda jaraknya maka harus di dasarkan kepada jarak tempat sidang dengan tempat tinggal salah satu tergugat yang paling jauh. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 14 RV yang menyatakan: “Jika beberapa orang karena gugatan yang sama ditetapkan untuk jangka waktu yang berlainan, maka semua akan ditetapkan untuk datang menghadap pada waktu yang ditentukan untuk yang bertempat tinggal terjauh. (Rv. 10 dst., 94.)”.

Regards
Jun





[1] Lihat Pasal 118 HIR.
[2] Lihat Pasal 121 (4) HIR
[3] Lihat juga Pasal 1 RV.
[4] Lihat juga Pasal 2 RV sampai denga Pasal 7 RV.
[5] Yahya Harahap, “Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Putusan Pengadilan”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hal. 223.
[6] Ibid, Hal. 225.
[7] Lihat Pasal 10  Angka (1) RV.
[8] Lihat Pasal 10 Angka (2) RV.
[9] Lihat Pasal 10 Angka (3) RV.

Mas Yadi

Author :

Seluruh artikel yang ada di Blog ini merupakan karya dari penulis sendiri, dan jika ada karya dari orang lain, maka sebisa mungkin akan penulis cantumkan sumbernya. Untuk memberikan Masukan, Saran, Sanggahan, dan Pertanyaan, silahkan menggunakan link Contact yang tersedia. Semoga artikel ini bermanfaat untuk Anda.
Share Artikel