TEORI
DAN POLITIK PEMIDANAAN
Pemidanaan. Kita telah mengenalnya
sejak berabad-abad yang lalu. dunia mulai mengenal pidana mati dengan cara yang
sangat mengerikan pada abad ke-16, selanjutnya dikenal lagi sistem pemidanaan
kerja paksa pada abad ke-17, kemudian dikembangkanlah sistem pemidanaan dengan
cara membuang/menyingkirkan/melumpuhkan yang dimulai pada abad ke-19.[1]
Pada saat ini, pembelajaran
mengenai teori pemidanaan di bangku kuliah sering kali merujuk pada tiga teori yang dikemukakan dalam rangka penjatuhan pidana.
Pertama, bersifat pembalasan (retribution). Ia melihat ke belakang, dalam arti
perbuatan yang telah dilakukan itu ”kejam” atau sangat antisosial atau tidak.
Kedua, bertalian dengan aspek menakutkan (deterrence). Dalam konteks ini diharapkan
perbuatan seperti yang dilakukan itu tidak diulangi lagi, sekaligus peringatan
kepada calon-calon pelaku kejahatan agar tidak meniru atau mengikuti
perbuatannya yang jahat itu. Ketiga, campuran atau gabungan dari sifat
pembalasan dan aspek menakutkan.[2]
Untuk di Indonesia sendiri dengan
lahirnya Undang-Undang No.12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan, maka
awalnya tujuan pemidanaan itu adalah untuk membuat efek jera terhadap pelaku,
namun setelah UU ini berlaku maka tujuan dari pemidanaan itu ialah agar pelaku
tersebut dibuat bertobat dan menjadi orang yang baik setelah selesai menjalani
masa hukumannya (keluar dari LP), sehingga penyebutan “penjara” diubah dengan
“lembaga pemasyarakatan”. Namun kemudian muncul berbagai masalah, yang paling
sering terdengar dan mengemuka adalah masalah “Rasa Keadilan Masyarakat”.
Buruknya sistem penegakan hukum
kita, mulai dari aparat polisi, jaksa, hakim, dan lembaga pemasyarakatan turut
serta memberikan ketidak percayanya masyarakat terhadap upaya penegakan hukum
pidana dengan dalil membuat toubat para
penjahat, khususnya terkait dengan kasus korupsi. Sehingga Teori-teori di atas dalam penologi atau
hukum penitensier dikupas habis-habisan. Yang sering dilupakan adalah aspek
”kultur” yang perlu dianalisis silang atau dikaji secara lebih holistik, sebab
faktor kultur sangat menentukan dalam pemidanaan. Sahetapy pernah membahasnya
dalam perspektif kriminologi dengan nama teori ”Sobural”, yaitu akronim dari
”nilai-nilai sosial, aspek budaya, dan faktor struktural masyarakat
bersangkutan”.[3]
Regards
Jun
[1] Damang,
“Sejarah
Pemidanaan”, diakses dari: http://www.negarahukum.com/hukum/sejarah-pemidanaan.html,
pada tanggal 11 April 2014.
[2] JE
Sahetapy, “Falsafah Pemidanaan”, diakses dari: http://www.komisihukum.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=249:falsafah-pemidanaan&catid=161:catatan-ketua-khn&Itemid=621,
pada tanggal 11 April 2014.
[3] JE.
Sahetapy, Op., Cit.