Pic By: www.tecknare.se
Sejak kran kebebasan mulai dibuka di sebagian besar negara- negara di dunia, maka kekuasaan yang dibangun dengan dasar kekuatan fisik secara langsung mulai ditinggalkan. Namun hal itu menyebabkan timbulnya episode baru dalam menguasai masyarakat bahkan negara oleh para kaum penghisap yang rakus akan kekuasaan. Dikuasai dengan tindakan pemaksaan fisik yang nyata, melanggar aturan, yang dikuasai mengetahui dirinya dikuasai merupakan hal yang biasa, namun dikuasai, menuruti perintah yang menguasai dengan kesadaran rasionalisasi sederhana, dilegalkan, dan yang dikuasai tidak tahu dirinya dikuasai merupakan hal yang luar biasa. Itulah mungkin konsep dari hegemoni itu.

Gramsci’s mendefinisikan hegemoni dengan menyatakan “Hegemony is a leadership based not upon coercion but upon the ability of the dominant group to present itself as the leading power”.[1] Ada juga Jennifer Daryl Slack’s yang mendefinisikan hegemoni dengan menyatakan “hegemony as a process by which a hegemonic class articulates (or coordinates) the interests of social groups such that rhose groups a actively consent to their subordinated status”.[2] Atau ada juga yang definisi yang lebih singkat dari Berry Jones dengan mendefinisikan hegemoni sebagai “the occupation of a dominant position in any system”.[3] Jika melihat beberapa definisi tentang hegemoni, memang secara sederhana hampir keseluruhannya melihat bahwa hegemoni dalam sistem kenegaraan sama dengan dominasi atau kekuasaan yang tidak proporsional.[4]

Untuk mengukuhkan eksistensinya, maka kekuasaan hegemoni akan masuk ke sektor budaya, politik, ekonomi, sosial, pemerintahan, hukum, kesehatan, pendidikan, dan bidang lainnya. di bidang ekonomi misalnya, hegemoni kekuasaan harus dapat menguasai kontrol terhadap bahan mentah, sumber dana, pasar, kompetisi, dan produksi,[5] begitu juga dengan bidang lainnya. dengan masuk ke semua bidang inilah kemudian dibentuk aturan yang dapat melegalkan tujuan dari kekuasaan itu dalam bentuk berbagai aturan, sehingga pada akhirnya jika ada anggota masyarakat yang tidak menaati aturan tersebut dapat ditindak secara fisik oleh aparat yang dibentuk oleh para penguasa. Runtuhnya hegemoni inipun dapat dimungkinkan jika kekuasaan hegemoni kehilangan atau kalah bersaing dengan lawan kekuasaannya dan kalah bersaing dengan seluruh unit sistem yang meluas keluar dari kemampuan mengatur oleh kekuasaan hegemoni tersebut.[6]



Regards
Jun

[1] Guy Ben-Porat, “Global Liberalism, Local Popularism: Peace and Conflict in Israel/Palestine and Northem Ireland”, (New York: Syracuse University Press, 2006), Hal. 7.
[2] Jon Beasley-Murray, “Posthegemony: Political Theory and Latin America”, (Minneapolis: Regents of the University of Monnesota, 2010), Hal. 22.
[3] Mark Haugaard, dan Howard H. Lentner, “Hegemony and Power: Consensus and Coercion in Contemporary Politics”, (UK: Lexington books, 2006), Hal. 67.
[4] Ibid. Hal. 68.
[5] Lihat Juga, Matthias Kaelberer, “Money and Power in Europe: The Political Economy of European Monetary Cooperation”, (USA: State University of New York Press, 2001), Hal. 54.
[6] Guy Ben-Porat, Op., Cit.,

Mas Yadi

Author :

Seluruh artikel yang ada di Blog ini merupakan karya dari penulis sendiri, dan jika ada karya dari orang lain, maka sebisa mungkin akan penulis cantumkan sumbernya. Untuk memberikan Masukan, Saran, Sanggahan, dan Pertanyaan, silahkan menggunakan link Contact yang tersedia. Semoga artikel ini bermanfaat untuk Anda.
Share Artikel