Penggabungan
Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum (PMH)
Telah menjadi isu umum secara terus
menerus terkait dengan penggabungan Wanprestasi dengan PMH, ada pihak
yang membolehkannya, adapula yang tidak membolehkannya. Dalam praktik tidak
jarang ditemukan adanya penggabungan antara Wanprestasi dengan PMH, dan jika
ini terjadi, maka pasti akan dijadikan dasar oleh pihak lawan untuk memohon
dinyatakannya Gugatan tidak jelas atau kabur (obscuur libel). Seperti yang telah penulis uraikan dalam artikel sebelumnya
tentang Wanprestasi dan PMH bahwa ada beberapa yang menjadi perbedaan
menjadasar antara gugatan Wanprestasi dengan PMH seperti:
- Sumber hukum. Yang mana dalam Wanprestasi yakni Pasal 1243 KUHPerdata, sementara PMH yakni Pasal 1365 KUHPerdata.
- Timbulnya hak menuntut. Dalam Wanprestasi hak menuntut bisa timbul jika telah diawali dengan somasi, sedangkan dalam PMH bisa langsung diajukan tuntutan secara seketika pada saat telah terjadi PMH.
- Ganti rugi. Dalam hal Wanprestasi merujuk pada Pasal 1236, 1237 dan 1243 KUHPerdata. Sedangkan PMH merujuk pada Pasal 1365 dan 1372 KUHPerdata.
Lalu, apakah dengan perbedaan
seperti di atas masih tetap dibolehkannya penggabungan antara Wanprestasi
dengan PMH ?.
Yahya Harahap berpendapat bahwa
tidak dibenarkan mencampuradukkan Wanprestasi dengan PMH dalam gugatan, dan/atau
mendalilkan Wanprestasi padahal fakta hukum adalah peristiwa PMH begitu juga
mendalilkan PMH padahal fakta hukumnya yakni Wanprestasi. Namun beliau juga
berpendapat bahwa penggabungan Wanprestasi dan PMH dimungkinkan dalam satu
gugatan asalkan diurai dengan tegas pemisahan keduanya.[1]
Di dalam praktik sendiri terdapat
beberapa yurisprudensi yang tidak membenarkan adanya penggabungan antara
Wanprestasi dengan PMH, diantaranya yakni Putusan
MA No. 1875 K/Pdt/1984 tertanggal 24 April 1986, dan Putusan MA No. 879
K/Pdt/1997 tanggal 29 Januari 2001 dijelaskan bahwa penggabungan PMH
dengan wanprestasi dalam satu gugatan melanggar tata tertib beracara dengan
alasan bahwa keduanya harus diselesaikan tersendiri.[2]
Begitu juga dala Putusan MA No. 2452 K/Pdt/2009, dalam
pertimbangannya MA menyatakan “Bahwa
karena gugatan Penggugat
merupakan penggabungan
antara perbuatan melawan
hukum dan wanprestasi , maka
gugatan menjadi tidak jelas
dan kabur (obscuur libel)”. Ada juga Putusan PN Surakarta No. 194/Pdt.G/2011/PN.Ska, yang telah
berkekuatan hukum tetap dengan berdasarkan dua Yurisprudensi MA, dalam
pertimbangannya menyatakan “Menimbang, bahwa terhadap gugatan Penggugat,
Majelis Hakim berpendapat, bahwa dalam gugatannya Penggugat telah menggabungkan
dalilnya antara perbuatan wanprestasi
dengan perbuatan melawan hukum, oleh
karenanya berdasarkan Yurisprudensi
Mahkamah Agung R.I Nomor : 492
K/Sip/1970 tanggal 21 Nopember 1970
yo Putusan Mahkamah Agung R.I Nomor :
897/K/Sip/Pdt/1997 yang pada pokoknya
menyatakan, bahwa penggabungan gugatan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi
dalam satu gugatan melanggar tertib beracara, karena keduanya harus diselesaikan secara sendiri-sendiri, sehingga berdasarkan hal tersebut, maka
menurut Majelis Hakim gugatan Penggugat
yang seperti itu adalah kabur”.
Kemudian ada juga beberapa
Yurisprudensi yang membenarkan penggabungan antara Wanprestasi dengan PMH. Seperti
Putusan MA No. 2686 K/Pdt/1985 tanggal 29 Januari 1987, yang mana dalam putusan
tersebut dikatakan bahwa meskipun dalil gugatan yang dikemukakan dalam gugatan adalah PMH, sedangkan peristiwa
hukum yang sebenarnya adalah Wanprestasi, namun gugatan dianggap tidan obscuur lible. Apabila hakim menemukan
kasus seperti ini, dia dapat mempertimbangkan , bahwa dalil gugatan itu
dianggap Wanprestasi.[3]
Ada juga Putusan MA No. 2157 K/Pdt/2012, yang mana dalam pokok
perkara ini, penggugat menyebutkan gugatannya sebagai gugatan Wanprestasi dan
PMH, namun dalam dalilnya menjelaskan tentang Wanprestasi dan pembuktiannya
membuktikan tentang Wanprestasi. Terhadap perkara ini MA dalam pertimbangannya
menyatakan:
- Bahwa walaupun dalam surat gugatan menggunakan istilah perbuatan melawan hukum (PMH), tidak berarti gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima karena posita gugatan telah secara jelas menguraikan hubungan hukum para pihak, yaitu adanya hutang piutang dan Penggugat telah mendalilkan para Tergugat telah wanprestasi;
- Mengingat asas peradilan cepat, sederhana dan murah, penyebutan istilah perbuatan melawan hukum (PMH) dalam surat gugatan padahal faktafakta persidangan menggambarkan hubungan perjanjian para pihak tidak mengakibatkan surat gugatan cacat atau tidak dapat diterima;
- Mengingat fakta-fakta persidangan di pengadilan negeri, Penggugat (dalam hal ini Pemohon Kasasi) telah dapat membuktikan dalil-dalilnya, dimana terbukti Tergugat wanprestasi;
Selain itu terdapat juga Putusan yang
sesuai dengan pendapat Yahya Harahap di atas terkait dengan penggabungan
Wanprestasi dengan PMH, yang mana jika harus menggabungkan Wanprestasi dengan
PMH maka harus dengan tegas dan jelas pula pemisahannya. Ini sesuai dengan Putusan MA No. 886 K/Pdt/2007, yang
dalam pertimbangannya menyatakan:
“Bahwa posita gugatan telah jelas
terpisah antara Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi, yaitu:
- Tergugat I tidak melaksanakan perjanjian kerja sama No. 158/X/BBWM/ 2003 ; No. 020/MBP-BBD/10/2003 tanggal 23 Oktober 2003, perbuatan mana sebagai Wanprestasi dan ;
- Tergugat I dan Tergugat II membuat perjanjian kerja sama No. 199/BBMW/XII/2003 ; No. 009/MBP-DIR/12/2003 tanggal 29 Desember 2003 tanpa diketahui Penggugat sebagai yang berhak atas pengoperasian Pengelolaan Minyak dan Gas Kabupaten Bekasi, perbuatan mana merupakan Perbuatan Melawan Hukum;
Bahwa sungguhpun dalam gugatan terdapat
posita Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum, akan tetapi dengan tegas
diuraikan secara terpisah, maka gugatan demikian yang berupa kumulasi obyektif
dapat dibenarkan”.
Meskipun demikian, masih banyak
ahli hukum yang tetap berpendapat bahwa penggabungan Wanprestasi dan PMH secara
teori tidak dibenarkan. Sehingga ada baiknya untuk memisah antara gugatan
Wanprestasi dengan PMH, namun jika harus menggabungkan antara Wanprestasi
dengan PMH maka harus dipisahkan secara tegas apa yang menjadi dalil dari Wanprestasi
itu dan juga apa yang menjadi dalil dari PMH tersebut.
Regards
Jun
[1] Yahya
Harahap, “Hukum Acara Perdata”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hal.
455-456.
[2] Ibid,
hal. 456. Lihat juga artikel Hukum Online http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt506b9b8dcec10/masalah-penggabungan-pmh-dan-wanprestasi-dalam-satu-gugatan
diakses tanggal 12 November 2013.
[3] Ibid.
Referensi Lain:
KUHPerdata
Putusan
MA No. 886 K/Pdt/2007
Putusan
PN Surakarta No. 194/Pdt.G/2011/PN.Ska
Putusan MA No. 2157
K/Pdt/2012
Putusan
MA No. 2452 K/Pdt/2009