Penggabungan
Gugatan Perdata dengan Pidana
Kadang kita mendengar ada orang
yang berkata “saya bisa menuntut anda pidana dan perdata”. “Perdata ya perdata,
pidana ya pidana, jangan dicampur aduk kaya’ gado-gado”. “Saya melakukan
hubungan kerjasama bisnis dengan dia, tapi dia menipu saya. Penipuan itu kan
pidana (Pasal 378 KUHP), sementara hubungan bisnisnya kan perdata. Terus saya
harus nuntut secara pidana atau perdata, atau digabung saja”. “Selain mengambil
berlian saya, perampok itu juga merusak mobil Lamborghini saya, bagimana
caranya saya dapatkan ganti rugi kerusakan mobil saya?”.
Mengenai penggabungan gugatan
pidana kedalam gugatan perdata, penulis belum menemukan ada aturan yang
menyatakan demikian. Bahkan ada yurisprudensi dan semboyan yang mengatakan “Jangan
pidanakan Perdata”.
Namun untuk penggabungan gugatan
perdata (dalam hal ini terkait dengan ganti rugi) kedalam gugatan pidana telah
diatur secara tegas di dalam KUHAP. Meskipun tidak dengan serinci mungkin.
Dasar Hukum
Bab
XIII KUHAP, mulain dari Pasal 98 – 101 KUHAP, mengatur tentang penggabungan
perkara gugatan ganti kerugian. Pasal 98 (1) KUHAP menyatakan:
“Jika suatu perbuatan
yang menjadi dasar dakwaan di dalam
suatu pemeriksaan perkara pidana
oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain,
maka hakim ketua sidang atas permintaan
orang itu dapat menetapkan untuk
menggabungkan perkara gugatan ganti
kerugian kepada perkara pidana itu”.
Seperti yang saya katakan di atas, bahwa yang menjadi dasarnya
ialah dakwaan pidana, kemudian gugatan ganti rugi digabungkan kedalam dakwaan
pidana tersebut. Bukan sebaliknya.
Waktu
Pengajuan
Permintaan untuk mengajukan penggabungan perkara gugatan ganti
rugi ini dilakukan paling lambat sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan
pidana. Atau dalam hal penuntut umum tidak hadir, hal semacam ini biasa terjadi
dalam kasus persidangan terhadap kasus yang bersifat sumir (sederhana) seperti kasus kecelakaan lalu lintas maka
diajukan permintaan penggabungan paling lambat sebelum hakim menjatuhkan
putusannya. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 98 (2) KUHAP yang menyatakan: “Permintaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum
penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir,
permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan”.
Prosedur
Pihak yang mengajukan penggabungan perkara gugatan ganti rugi ini
harus bisa membuktikan terkait dengan jumlah atau besaran kerugian yang
dideritanya dengan alat bukti yang cukup.[1] Kemudian
pengadilan negeri juga harus mempertimbangkan terkait dengan kewenangan
mengadili terhadap perkara yang dimintai penggabungan tersebut,[2]
tentunya mengacu kepada aturan hukum perdata, yang mana kita ketahui bahwasanya
di dalam hukum pidana kewenangan mengadili didasarkan pasa locos delictie (tempat kejadian perkara), sedangkan di dalam hukum
perdata didasarkan terhadap tempat kediaman tergugat. Terkait dengan hal ini
tentu besar kemungkinan akan terjadi perbedaan terhadap pengadilan negeri yang
berwenang. Jika kewenangan pengadilan negeri untuk mengadili perkara pidananya
berbeda dengan kewenangan pengadilan negeri untuk mengadili perkara
penggabungan gugata ganti rugi (berdasarkan hukum perdata) maka permohonan
penggabungan tersebut tidak dapat diterima. Sehingga pihak yang dirugikan dapat
menempuh jalur hukum dengan mengajukan gugatan perdata secara tersendiri di
pengadilan negeri sesuai dengan aturan terkait dengan kompetensi pengadilan.
Untuk proses jalannya pemeriksaan atau secara umum proses
persidangan terhadap kasus penggabungan ini, maka pertama-tama tetap mengacu
kepada ketentuan yang ada di dalam KUHAP, namun jika ketentuan di dalam KUHAP
tidaka ada yang mengatur, maka prosesnya mengacu kepada aturan hukum acara
perdata. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 101 KUHAP yang menyatakan “Ketentuan
dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang dalam
undang-undang ini tidak diatur lain”.
Putusan dan
Upaya Hukum
Kekuatan mengikat dari Penggabungan perkara gugatan ganti rugi ini
mengikut kepada putusan pidananya sebagai inti perkara. Jika putusan pidananya
menjadi berkekuatan hukum tetap, maka putusan terhadap permohonan penggabungan ganti
rugi tersebut juga ikut memiliki kekuatan hukum tetap.[3] Begitu
juga halnya dengan adanya upaya hukum banding, jika perkara pidanyanya
dilakukan banding, maka otomatis perkara perdatanya akan ikut diperiksa di
tingkat banding.[4]
Dan jika perkara pidanyanya tidak diajukan banding, maka perkara perdatanya terkait
dengan putusan permintaan ganti rugi tidak dapat diajukan banding secara tersendiri.[5]
Tentunya, penggabungan perkara gugatan ganti kerugian seperti ini
bukanlah satu-satunya solusi bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan secara
perdata dan pidana. Masih ada cara lain yang dapat ditempuh, seperti:
- Melalui gugatan perdata secara tersendiri. Banyak pihak yang merekomendasikan untuk dilakukan gugatan perdata setelah ada putusan pidananya agar ada bukti yang kuat, namun ada juga yang mengatakan tidak perlu menunggu adanya putusan pidananya selama bukti-bukti yang dimiliki dinilai cukup dan kuat.
- Melalui permohonan restitusi. Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. PP No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban. Dan Peraturan LPSK No. 01 Tahun 2010 tentang Standar Operasional Prosedur Permohonan dan Pelaksanaan Restitusi.
- Jika anda cukup sabar, pemaaf, tabah, cara ketiga bisa dipilih. Yakni Ikhlaskan, J (Bercanda) tapi kan tetap sebuah pilihan.
Tentu banyak aspek yang cukup rumit dalam pembahasan terkait dengan penggabungan gugatan perdata dengan tuntutan pidana. So, to be continued.
Regards
Jun