Gambar ini diambil dari: www.123rf.com |
Memorandum
of Understanding (MoU)
By.
Junaiding[1]
Memorandum of
Understanding (Nota Kesepahaman / Nota Kesepakatan). Letter of Intent (LoI).
Head of Agreement. Protocol. Letter of Understanding. Dll.
Kata, dan Frase-frase di atas
terlihat hampir mirip. Meskipun memiliki sedikit perbedaan antara yang satu
dengan yang lain, namun secara umum bisa kita katakan memiliki maksud dan
tujuan yang sama. Dan diantara semuanya itu yang paling populer ialah MoU dan
LoI.
MoU dan LoI sangat sering digunakan
oleh para pelaku bisnis, baik itu yang cakupan skalanya Nasional maupun
Internasional. Dan tidak jarang juga MoU dibuat antar subyek hukum
internasional yakni Negara.
Untuk para pelaku bisnis yang skala
bisnisnya masih kecil memang MoU dan LoI ini tidak terlihat begitu penting. Namun
untuk perusahaan yang memiliki skala bisnis yang besar maka keberadaan MoU dan
LoI menjadi sangat penting.
Sedikit ilustrasi. Jika anda ingin
membuat suatu usaha Joint Venture (JV) dengan pihak asing untuk mengelola
sebuah tambang minyak di lepas pantai dalam wilayah Republik Indonesia, nilai
investasi anda tidak kurang dari 9 digit angka dolar, jangka waktunya tidak
kurang dari 9 tahun, dan lain-lain yang semuanya bernilai besar. Sejak negosiasi
awal anda dengan calon partner bisnis anda ini sampai menghasilkan sebuah
kontrak kerjasama yang bersifat final dan siap untuk dilaksanakan, maka akan
memakan waktu yang sangat lama, bisa berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Selama
berlangsungnya negosiasi itu terkait dengan hal yang umum dan detail, maka
sering terjadi perubahan kondisi iklim di dunia bisnis yang dapat mempengaruhi
berubah-ubahnya keputusan yang perlu diambil. Selain itu, selama penyusunan
kontrak yang akan bersifat final tersebut, dikenal adanya waktu untuk melakukan
proses Due Diligence oleh masing-masing pihak terhadap
rekan bisnisnya. Nah seluruh proses awal (proses Pra-Kontrak) ini perlu
dibuatkan suatu pegangan bersama, agar ada patokan sebagai petunjuk arah dan
tujuan bersama untuk menyusus kontrak yang bersifat final tersebut. Dalam hal
seperti inilah sangat dibutuhkan sebuah MoU atau bisa juga dalam bentuk LoI.
Pertanyaan selanjutnya ialah,
apakah MoU itu ?. Apakah mengikat masing-masing pihak ?. Berikut ini kita akan
sedikit mengulas beberapa pengertian MoU dari referensi yang ada di negara
lain. Sebab jika anda akan membuat MoU dengan rekan bisnis anda dari negara
lain, bisa saja pemahaman tentang MoU itu berbeda antar di sana dan di sini,
memang tidak akan berdampak apapun jika tidak terjadi sengketa, namun jika ada
masalah maka akan semakin rumit bahkan bisa berdampak sistemik.
Definisi
Memorandum of Understanding (MoU)
Ada beragam definisi yang
memberikan arti dari MoU tersebut, mari kita lihat beberapa diantaranya:
Chistine Rossini, dalam bukunya
English As a Legal Language mengatakan: “Memorandum
of understanding (MOU) (US) / head of agreement (UK) a preliminary document
containing some terms of an anticipated agreement and signed by the parties”.[2]
Gene K. Landy, dalam bukunya The
IT/digital Legal Companion: A Comprehensive Business Guide to Software,
Internet and IP Law, menyatakan “Memorandum
of Understanding or ‘MOU’. The term ‘memorandum’ means a record and
‘understanding’ mean agreement; so an MOU is a record of an agreement – in
other words, MOU means ‘contract’”.[3]
Menurut Salim H.S dalam Skripsi Adawiah Benny La Tanrang, “Memorandum
of understanding adalah dasar penyusunan kontrak pada masa datang yang
didasarkan pada hasil permufakatan para pihak, baik secara tertulis maupun
lisan”.[4]
Munir Fuady mengatakan “Suatu perjanjian pendahuluan, dalam arti
nantinya akan diikuti oleh dan akan dijabarkan dalam perjanjian lain yang
mengaturnya lebih detail, karena itu dalam memorandum of understanding hanya
berisikan hal-hal yang pokok saja. Sedangkan mengenai lain-lain aspek dari memorandum
of understanding relatif sama saja dengan perjanjian perjanjian lainnya”.[5]
Andrei Dontsov, dkk. Dalam bukunya
Russian Business Law: The Current Issues, menyatakan “In a memorandum of understanding, the parties define the target shares,
the contracting persons, the time of completion of the due diligence process,
the timing for agreeing the definitive documentation, etc.”[6]
Kekuatan
Mengikat dari Memorandum of Understanding (MoU)
Gene K. Landy menyatakan MoU
memiliki kekuatan hukum mengikat, yang mana dengan tegas dia katakan “in other words, MOU means ‘contract.’ (Sometimes, we hear the redundant term
“Binding MOU.”) MOU documents are always binding agreements.”.[7]
sementara itu Chistine Rossini berpendapat bahwa MoU tidaklah mengikat, dia
mengatakan “Memorandum of understanding
(MOU) (US) / head of agreement (UK) a preliminary document containing some
terms of an anticipated agreement and signed by the parties. This type of
document is usually nonbinding and imposes the obligation merely to continue
negotiating”.[8]
Masih banyak pendapat lainnya yang
mengatakan mengikat dan tidak mengikat. Jika dilihat perbedaan sistem hukum di
masing-masing negara, itulah yang membedakan pendapat masing-masing pihak.
Seperti misalnya di Rusia, MoU bisa
mengikat, bisa juga tidak mengikat. Andrei Dontsov, dkk. mengatakan “Under Russian civile law, a memorandum of
understanding may be binding or non-binding. A binding memorandum of
understanding is a preliminary agreement (‘predvaritelny dogovor’) under which
the parties engage to enter into a future agreement, on the terms set out in
the preliminary agreement, on the transfer of assets, shares, or participation
interests, or on the provision of services”.[9]
Beat
Brechbühl, dan Robert J. Wooder, juga berpendapat bahwa MoU secara umum tidak
memiliki kekuatan mengikat, hanya saja memiliki efek prikologi yang kuat, namun
di berpendapat bahwa ada beberapa hal yang terdapat di dalam MoU tetap memiliki
dampak hukum, secara lebih detai mereka mengatakan:[10]
“The LoI or MoU will be agreed by the same
parties who will later enter into the participation agreement and will set out
the major terms of agreement reached at such stage – these documents are not
ordinarily legally binding. Despite this, these agreements can have a stong
psychological effect on later contractual negotiation. Such non-binding
provisions are:
- Valuation of the company (which is important for the subscription price);
- Future legal form of the target company;
- Major privileges and preferences of the investor;
- Proposal for the composition of management and supervisory board;
- Exit strategy.
Although the LoI or MoU is non-binding in
general, the parties usually give legal affect to several provision of the LoI
or MoU. Such normally binding provision are:
- Confidentiality;
- Exclusivity for a certain period (usually one or two months);
- Procedures for the exercise of due diligence;
- Costs and expenses.”
Selain itu, Afifah Kusumadara
berpendapat bahwa negara-negara civil law
pada umumnya mengakui sifat kontraktual atau mengikat dari LoI dan MoU,
walaupun di dalam LoI dan MoU tersebut tidak secara eksplisit dituliskan
mengikat para pihak. Pengadilan di negara civil
law mempertimbangkan elemen “niat atau kehendak” para pihak, dan bukan
kata-kata eksplisit, untuk menentukan sifat kontraktual sebuah LoI dan MoU.
Berbeda halnya di negara-negara common
law yang mana dianut prinsip bahwa isi LoI dan MoU tidak memiliki kekuatan
mengikat para pihaknya, kecuali dalam LoI dam MoU tersebut dituliskan
kalimat-kalimat atau pasal yang secara eksplisit menyebutkan bahwa LoI dan MoU
tersebut mengikat para pihaknya.[11]
MoU
di Indonesia berdasarkan KUHPerdata
Banyak
pihak yang mengatakan bahwa mengikatnya MoU di dasarkan oleh syarat sahnya
sebuah kontrak (Pasal 1320 KUHPerdata) dan asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338 KUHPerdata). Syarat sahnya sebuah
kontrak yang terdapat di dalam Pasal 1320 KUHPerdata Berbunyi: “Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat
syarat;
- kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
- kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
- suatu pokok persoalan tertentu;
- suatu sebab yang tidak terlarang”.
Kemudian
asas kebebasan berkontrak yang
terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata berbunyi: “Semua
persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik
kembali selain dengan kesepakatan kedua belah
pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undangundang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan
itikad baik”.
Sehingga jika sebuah MoU dibuat
oleh kedua belah pihak, dengan memenuhi syarat sahnya sebuah kontrak sesuai
dengan Pasal 1320 KUHPerdata, maka MoU itu mengikat secara hukum kepada kedua
belah pihak.
Pendapat Penulis
Menurut penulis sendiri, bahwa MoU
itu pada dasarnya tidak mengikat. Karena MoU jika diumpamakan semacam petunjuk
untuk mengarah kepada sutu tujuan yang akan mengikat kedua belah pihak. Sehingga
MoU tidaklah dapat disamakan dengan Kontrak.
Dalam sebuah kontrak ada tiga (3)
fase secara umum. Fase pertama yakni Pra-Kontrak. Kedua yakni Kontrak. Dan terakhir
yakni Pasca-Kontrak. Di dalam kontrak yang bersifat final, tindakan-tindakan
atau perbuatan-perbuatan yang dilakukan di dalam ketiga fase ini akan diatur
secara tegas, dan itulah yang mengikat para pihak. Semntara itu MoU berada pada
fase Pra-Kontrak.
Namun kenyataan dalam praktik sulit
sekali untuk membuat sebuah MoU yang murni hanya berupa MoU semata. Maksudnya ialah,
dalam praktik sering ditemukan sebuah MoU yang isinya semacam Kontrak. Sehingga
para pihak dan beberapa kalangan menganggapnya mengikat secara hukum layaknya
sebuah kontrak.
Hal seperti ini tentu tidak dapat
dipungkiri, mengingat niat baik selalu bertetangga
dengan niat buruk, dan niat buruk dapat terjadi bukan hanya karena ada niat
pelakunya namun juga karena kesempatan dan situasi, sehingga dibutuhkan
komitmen yang disertai dengan sangsi, dan bukan hanya sekadar somasi apalagi sangsi
moril, namun sangsi yang lebih tegas, agar niat buruk itu tidak mempengaruhi tetangganya. Sebab ada beberapa hal yang
memang perlu penegasan dan mengikat untuk para pihak dalam penyusunan MoU. Misalnya
seperti poin-poin dalam pendapat Beat
Brechbühl, dan Robert J. Wooder di atas, yakni: kewajiban para pihak
untuk saling menjaga informasi dan dokumen yang dipertukarkan, waktu dan biaya
yang timbul selama pelaksanaan negosiasi, cara untuk melakukan proses due
diligence, dan hak prioritas para pihak untuk diutamakan dalam
proses negosiasi daripada pihak ketiga, dan kewajiban para pihak untuk
melakukan negosiasi dengan itikat baik.[12]
Oleh karena itu, bisa saja sebuah
MoU mencantumkan poin-poin yang tidak mengikat dan yang mengikat secara hukum. Atau
ada juga pihak yang tidak ingin memberlakukan MoU tersebut sebagai kesepakatan
yang mengikat secara keseluruhan dengan memberikan penegasan di judulnya “Non-Binding
Memorandum of Understanding”, atau mencantumkan dalam pasal pertama atau
terakhir tentang tidak mengikatnya secara hukum ketentuan-ketentuan yang ada di
dalam MoU tersebut.
Jika akan menggabungkan baik itu
ketentuan yang mengikat dan tidak mengikat dalam suatu MoU maka selain perlu
untuk dinyatakan dengan tegas dalam sebuah pasal tertentu, hal yang sangat
penting adalah memperhatikan penulisan setiap Pasal demi Pasal dalam MoU
tersebut. Misalnya dalam Pasal yang ditujukan untuk mengkikat para pihak haruslah
digunakan kata atau kalimat “Perjanjian”. Begitu juga sebaliknya dalam Pasal
atau klausul yang tidak ditujukan untuk mengikat janganlah digunakan kata atau
kalimat “Perjanjian”.
Lalu bagimana perbedaan antara
kata-kata yang berupa Perjanjian atau tidak ?. berikut contohnya (yang ditulis
di dalam kurung “()” bersifat mengikat atau merupakan kata-kata “Perjanjian”):[13]
- The Parties “should” (“Shall”);
- ... would constitute an “understanding” (“agreement”);
- ... which would “come into effect” (“into force”);
- ... stated they “intend” (“undertake” or “agree”);
- ... MoU was “dated” (“done”).
- Dan lain-lain.
Akhirnya, untuk para pihak yang
akan membuat MoU, sebaiknya berkonsultasi terlebih dahulu kepada masing-masing
penasehat hukumnya. Setiap negara mungkin saja memiliki fareasi yang berbeda
dan dampak hukum yang berbeda terhadap MoU, begitu juga setiap penasehat hukum
atau lawyer bisa saja memiliki pendapat yang berbeda terkait dengan MoU. Sehingga
pertimbangan dan pemahaman, serta kebijakan diperlukan untuk mengambil
keputusan dalam membuat MoU.
Regards
[1]
Penulis, adalah pemilik dan penulis seluruh artikel yang ada di
blog ini. Lulus dari Fakultas Hukum, Universitas
Hasanuddin, Makassar. Dan merupakan penghuni baru di dalam rimba sebuah profesi
yang dinamai “Advokat”.
[2] Christine
Rossini, “English As a Legal Language”, (London: Kluwer Law International
Ltd., 1998), Hal. 14.
[3] Gene K.
Landy, “The IT/digital Legal Companion: A Comperhensive Business Guide to
Software, Internet and IP Law”, (USA: Syngress Publishing, Inc., 2008),
Hal. 188.
[4]
Skripsi Adawiah Benny La Tanrang, dengan judul “Kekuatan Hukum Memorandum of
Understanding (MoU) Dalam Penerapannya Berdasarkan KUH Perdata”. Dapat diakses
secara Online di: http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/6357.
[5] Ibid.
[6] Andrei
Dontsov, dkk. “Russian Business Law: The Current Issues”, (Moscow, Russian
Federation: Clifford Chance CIS Ltd., 2009), Hal. 16.
[7] Ibid,
Gene K. Landy, Op., Cit.
[8] Iibid,
Christine Rossini, Op., Cit.
[9] Ibid,
Andrei Dontsov, dkk., Op., Cit.
[10] Beat Brechbühl, dan Robert J. Wooder, (Global
Venture Capital Transactions: A Practical Approach”, (The Netherlands:
Kluwer Law International, 2004), Hal. 154.
[11]
Afifah Kusumadara, “Kontrak Bisnis Internasional: Elemen-Elemen Penting Dalam Penyusunannya”,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2013), Hal. 199-200.
[12]
Beat Brechbühl, dan Robert J. Wooder, Op.,
Cit.,. Lihat juga, Afifah Kusumadara, Op., Cit., Hal. 200.
[13]
Anneliese Quast Mertsch, “Provisionally Applied Treaties: Their
Binding Force and Legal Nature”, (Leiden,
The Netherlands: Koninklijke Brill NV, 2012), Hal. 218.; Lihat juga, Afifah
Kusumadara, Op., Cit., Hal. 201.