Terjadinya Hak Milik
Berdasarkan Ketentuan Hukum Adat
Hak
atas tanah di Indonesia khususnya yang merupakan hak asli warga negara
Indonesia asal mulanya berasal dari tanah adat. Namun jika kita melihat keadaan
di zaman sekarang ini, sudah sangat jarang sekali ada masyarakat yang masih
mempertahankan hukum adatnya untuk mengatur pola kehidupan sosial ekonominya
khususnya di bidang agraria. Sehingga hak-hak atas tanah yang bersumber dari
hukum adat sekarang ini hanya berbentuk penguasaan tanah oleh orang-perorangan
yang belum terdaftar dan dahulunya bersumber dari hukum adat.
Sedikit
mengulas kembali, bahwasanya dahulu kala ketika daerah-daerah di Indonesia
masih dikuasai oleh kerajaan-kerajaan dan kental akan pengaturan hukum adat
setempat, tanah-tanah di wilayah tersebut merupakan tanah masyarakat hukum adat
atau dikenal juga dengan hak ulayat. Kemudian seiring berjalannya waktu,
masing-masing anggota masyarakat hukum adat tersebut membuka lahan yang
termasuk dalam wilayah hukum adatnya dengan meminta persetujuan ketua dan tokoh
adat setempat. Karena telah mengeluarkan biaya dan tenaga untuk membuka lahan
tersebut, maka secara terus menerus dan turun temurun lahan itu dikuasai oleh
keluarganya. Memasuki zaman penjajahan, di beberapa tempat dilakukanlah
pendataan tanah yang dikelola masyarakat lokal oleh pemerintah kolonial guna
kepentingan pemungutan pajak. Pendataan itu kemudian dicatat dalam catatan
khusus, dan masing-masing daerah memiliki perbedaan penamaan. Catatan-catatan
itulah kemudian yang kita kenal dengan sebutan Girik, Kekitir, Petuk, Dll.
Kemudian
setelah Indonesia merdeka, maka dilakukanlah proses-proses pendaftaran tanah.
Sehingga tanah-tanah yang dikuasai oleh perorangan tersebut (yang sebelumnya
berasal dari tanah masyarakat hukum adat) didaftarkan menjadi hak milik
berdasarkan bukti hak lama yang dimilikinya. Mengingat tidak semua wilayah di
Indonesia dilakukan pendataan tanah, maka masih banyak wilayah-wilayah di
Indonesia yang masyarakatnya menggarap suatu lahan tanpa sedikitpun ada bukti
tertulis untuk menunjukkan bahwa dialah yang memilikinya. Bahkan peralihan
haknyapun hanya didasarkan dengan kepercayaan dan tanpa adanya landasan
administrasi formal.
Oleh
karena itu, pemerintah mengantisipasi hal ini dengan memberikan tiga bentuk
alat bukti untuk pembuktian hak lama dalam pendaftaran tanah untuk pertama
kalinya. Untuk daerah-daerah yang pernah dilakukan pendataan tanah dan memiliki
girik, kekitir, petuk, leter c, dan bukti-bukti tertulis lainnya, maka bukti
tertulis itulah yang dijadikan dasar untuk pendaftaran hak milik atas tanah.
Jika bukti tertulis itu kurang lengkap, maka ditambah dengan pernyataan yang
bersangkutan ditambah dengan saksi yang mengetahui persis riwayat tanah
tersebut. Atau dapat juga dengan menggunakan bukti penguasaan lahan selama
minimal 20 tahun dengan niat baik dan tanpa ada pihak lain yang keberatan.
Sehingga
jika di suatu daerah, meskipun tidak terdapat lagi lembaga hukum adat dan telah
dipenuhi dengan kehidupan sosial yang moderen, namun terdapat tanah yang
dikuasai oleh anggota masyarakat tanpa ada bukti tertulis, maka ketika dia akan
mendaftarkan tanahnya tersebut agar terbit Sertipikat Hak Milik, tanah itu akan
dikategorikan sebagai tanah adat. Dan lebih tepatnya ‘bekas tanah adat’.
Regards
Jun