Hak
Eigendom, atau Eigendom Verponding, atau Agrarisch Eigendom ... ???
Ketiga istilah ini
sering disamakan pengertiannya, khususnya dikalangan masyarakat yang awam
hukum. bahkan, kadang-kadang di kalangan yang paham hukum juga. Apakah ketiga
istilah ini sama ? atau berbeda ?
Hak
Eigendom
Dahulu sebelum
UUPA diberlakukan, hak milik (khusunya yang tunduk pada hukum barat)
penyebutannya lebih sering menggunakan bahasa Belanda yang berarti eigendom atau hak milik. Hal ini sesuai
dengan dasar hukum pengaturannya yang bersumber dari hukum Belanda yakni Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek (BW) voor Indonesie), tepatnya terdapat dalam Buku
II[1],
Bab III. Definisi hak eigendom sendiri terdapat dalam Pasal 570 yang menyatakan:
“Hak milik adalah hak untuk menikmati suatu
barang secara lebih leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas
sepenuhnya, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum
yang ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan asal tidak mengganggu hak-hak
orang lain; kesemuanya itu tidak mengurangi kemungkinan pencabutan hak demi
kepentingan umum dan penggantian kerugian yang pantas, berdasarkan
ketentuan-ketentuan perundang-undangan”.
Kemudian, dengan
diberlakukannya UUPA maka ketentuan yang terdapat dalam Buku ke-II Kitab
Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air serta
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dinyatakan tidak berlaku lagi, kecuali
ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya
UUPA. Sehingga dengan sendirinya ketentuan tentang hak eigendom atas tanah juga
tidak berlaku lagi.
Oleh karena
ketentuan tentang hak eigendom ini dinyatakan tidak berlaku lagi sejak diundangkannya
UUPA, maka guna memberikan kepastian hukum dan kejelasan terhadap pemegang hak
eigendom maka dibuatlah ketentuan konversi yang terdapat dalam Bagian Kedua
UUPA tentang Ketentuan-Ketentuan Konvesi. Untuk hak eigendom yang dikonversi
menjadi Hak Milik dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) Ketentuan Konversi UUPA
yang menyatakan:
“Hak eigendom atas tanah yang ada pada mulai
berlakunya Undang-undang ini sejak saat tersebut menjadi hak milik, kecuali
jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam pasal
21”.
Atas dasar
ketentuan inilah sehingga hak eigendom dikonversi mejadi hak milik dengan
syarat bahwa pemegang hak eigendom tersebut merupakan subjek hak milik
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 21 UUPA.
Eigendom
Verponding
Istilah ‘eigendom
verponding’ sebenarnya tidak terdapat dalam literatur hukum agraria, yang ada
hanyalah istilah ‘eigendom’ sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas, dan ‘verponding’
yang berarti pajak atas harta tetap. Namun dikalangan masyarakat sering kali
kita dengan penyebutan hak eigendom dengan istilah ‘eigendom verponding’.
Pengertian ‘verponding’
dalam literatur hukum di Indonesia salah satunya dapat ditemukan dalam Pasal I
(Pasal 1) Undang-Undang No. 33 Tahun 1953 Tentang Penetapan Undang-Undang
Darurat No. 15 Tahun 1952, Untuk Pemungutan Pajak Verponding Untuk Tahun-Tahun
1953 dan Berikutnya (LN No. 90 Tahun 1952), yang menyatakan:
“Dengan nama verponding dikenakan suatu pajak
atas harta tetap, sebagaimana disebut dalam pasal 3 ordonansi verponding 1928”.
Selain Undang-Undang
di atas, peraturan tentang pajak verponding ini dapat ditemukan dalam beberapa
peraturan yang pernah berlaku sebelumnya, seperti:
- Ordonansi Verponding Indonesia 1923 (Inlandsche Verpondings Ordonnantie 1923, Staatsblad Tahun 1923 Nomor 425) sebagaimana telah beberapa kali diubah, teakhir dengan Algemeene Verordeningen Binnenlandsche Bestuur Java en Madoera (Staatsblad Tahun 1931 Nomor 168);
- Ordonasi Verponding 1928 (Verpondings Ordonnantie 1928, Staatsblad Tahun 1928 Staatsblad Tahun 1928 Nomor 342) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undand-undang Nomor 29 Tahun 1959 (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1882);
Namun, dengan
berlakunya Undang-Undang No. 12 tahun 1985 Tentang PBB, maka kedua peraturan di
atas dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi.
Sehingga istilah
‘eigendom verponding’ yang sering digunakan oleh masyarakat, sama dengan
istilah ‘eigendom’ yang sebenarnya. Namun perlu digaris bawahi bahwa istilah 'eigendom'-lah yang lebih tepat.
Agrarisch
Eigendom
Ada hak atas
masyarakat Indonesia yang bersumber dari hak atas tanah adat, diakui dan
didaftarkan oleh pemerintah kolonial. Inilah yang disebut sebagai hak agrarisch
eigendom, yang mana berdasarkan Pasal 51 ayat 7 Indische Staatsregelling, Staatsblad 1870 No. 117, maka rakyat
Indonesia asli yang memiliki hak atas tanah dapat mengajukan permohonan
pendaftaran tanah untuk diberikan kepadanya dengan hak eigendom disertai syarat
pembatasan yang perlu yang akan diatur dalam Undang-undang (ordonantie) dan yang harus tercantum
dalam surat tanda eigondom itu, yakni mengenai kewajiban-kewajiban kepada
negara dan desa dan juga tentang hak untuk menjualnya kepada orang yang tidak
termasuk golongan rakyat asli. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa hak
agrarisch eigendom merupakan hak eigendom yang diberikan kepada masyarakat Indonesia asli atas tanah miliknya. Hak ini tidak
sama dengan hak eigendom yang diatur dalam Pasal 570 BW. Karena jika kita
melihat proses terjadinya serta aturan hukum yang mengaturnya, maka hak
agrarisch eigendom secara sederhana dapat kita katakan sebagai hak atas tanah
yang dimiliki oleh rakyat Indonbesia asli yang bersumber dari tanah adat
kemudian dibaratkan, sehingga hak
agrarisch eigendom hanya dapat dimiliki oleh orang Indonesia asli dan
pengaturannya tidak tunduk pada BW, berbeda halnya dengan hak eigendom yang
diatur dalam Pasal 570 BW yang dapat dimiliki oleh siapa saja dan secara tegas
diatur dalam BW.
Dikonversi
Menjadi Hak Milik Atas Tanah
Setelah UUPA
berlaku, maka hak eigendom dan agrarisch eigendom dikonversi menjadi hak milik,
dengan ketentuan bahwa subjek hak atas tanah tersebut memenuhi syarat sebagai
subjek hak milik atas tanah. Namun yang sering menjadi pertanyaan belakangan ini
ialah, apakah hingga sekarang ini masih dapat dilakukan konversi hak eigendom
dan agrarisch eigendom menjadi hak mlik atau hak atas tanah lainnya yang diakui
di dalam UUPA ?
Sebab, karena
peraturan yang mengatur tentang hak eigendom dan agrarisch eigendom tidak
berlaku lagi, serta hak tersebut dinyatakan dokonversi berdasarkan ketentuan
konversi yang ada dalam UUPA, maka seharusnya hak eigendom dan agrarisch
eigendom telah menjadi salah satu hak atas tanah yang ada dalam UUPA, apakah
itu hak milik atau HGB atau hak lainnya. Namun karena sistem pendaftaran tanah
kita dan kondisi sosial, ekonomi, serta politik (yang paling berpengaruh) pada
saat dimana seharusnya dilakukan proses dan prosedur konversi tersebut tidak
memungkinkan untuk pelaksanaan konversi terhadap seluruh hak eigendom dan agrarisch
eigendom yang ada di Indonesia pada waktu itu. Sehingga tidaklah mengherankan
jika hingga saat ini masih sering ditemukan di masyarakat hak atas tanah berupa
hak eigendom dan agrarisch eigendom tersebut.
Oleh karena itu,
jika merujuk pada ketentuan pendaftaran tanah yang diatur dalam PP No. 24 Tahun
1997 Tentang Pendaftaran Tanah, Jo. PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997 Tentang
Peraturan Pelaksana PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, maka hak
eigendom dan agrarisch eigendom tersebut dapat dijadikan dasar untuk melakukan
pendaftaran tanah pertama kali. Karena berdasarkan Pasal 24 ayat (1) PP No. 24
Tahun 1997, Jo. Pasal 76 ayat (1) PMNA/KBPN No. 3 tahun 1997, maka hak eigendom
dan agrarisch eigendom dapat dijadikan sebagai bukti hak lama untuk melakukan
pendaftaran tanah pertama kalinya, dengan syarat bahwa telah dibubuhi catatan,
bahwa hak eigendom yang bersangkutan dikonversi menjadi hak milik.
Lalu bagimana
jika tidak terdapat catatan mengenai ‘hak eigendom yang bersangkutan dikonversi
menjadi hak milik’ ??. biasanya di dalam praktik jika hak eigendom tersebut
tidak pernah dialihkan atau secara fisik masih dikuasai oleh pemegangnya, maka
syarat adanya catatan mengenai ‘hak eigendom yang bersangkutan dikonversi
menjadi hak milik’ tersebut tidak dipermasalahkan, sebab ditunjang oleh adanya
bukti penguasaan fisik.
Regards
Jun
[1]
Dengan diberlakukannya UUPA maka ketentuan yang terdapat dalam Buku ke-II Kitab
Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air serta
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dinyatakan tidak berlaku lagi, kecuali
ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya
UUPA.
Referensi Lainnya:
Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek (BW) voor Indonesie);
Undang-Undang Pokok Agraria;
Undang-Undang No. 12 tahun 1985 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan;
Undang-Undang No. 33 Tahun 1953 Tentang Penetapan Undang-Undang Darurat No. 15 Tahun 1952, Untuk Pemungutan Pajak Verponding Untuk Tahun-Tahun 1953 dan Berikutnya (LN No. 90 Tahun 1952);
PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, Jo. PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997 Tentang Peraturan Pelaksana PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.