Pencabutan Hak Atas Tanah
Pasal 18 UUPA menyatakan:
“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang”.
Sederhananya dapat dikatakan bahwa demi kepentingan umum, maka hak-hak atas tanah dapat dicabut oleh negara dengan memberikan ganti rugi. Terkait dengan hak milik, sebenarnya telah dinyatakan dalam definisi hak milik yang dengan tegas dinyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.[1] Sehingga atas dasar fungsi sosial itulah, Negara berwenang untuk mencabut hak atas tanah yang dimiliki oleh warga masyarakat.
Payung hukum atau ketentuan yang mendasari dilakukannya pencabutan hak atas tanah ini dahulunya diatur dengan Staatsblad 1920 Nomor 574, atau dikenal dengan sebutan “Onteigening-sordonnantie”. Ordonansi tersebut telah beberapa kali diubah dan ditambah, yang terakhir dengan Staatsblad 1947 Nomor 96, dengan maksud untuk menyesuaikannya dengan perubahan keadaan dan keperluan. Akan tetapi, biarpun demikian Onteigening-sordonnantie tetap tidak sesuai lagi dengan keperluan dewasa ini. Peraturan tersebut disusun atas dasar pengertian hak “eigendom” sebagaimana yang termuat dalam Pasal 570 BW yaitu hak perseorangan yang tertinggi menurut hukum barat dan mutlak serta tidak dapat diganggu gugat. Oleh karena itu Onteigening-sordonnantie memuat ketentuan-ketentuan yang memberi perlindungan yang terlalu berlibihan atas hak-hak perseorangan. Berhubung dengan itu maka untuk mengadakan pencabutan hak menurut ordonansi tersebut harus dilalui proses yang panjang dan diperlukan waktu yang cukup lama, sebab harus melalui beragam instansi, baik itu instansi legislatif, eksekutif maupun pengadilan.[2] Memang benar, bahwa berdasarkan ordonansi tersebut, maka dalam keadaan tertentu seperti keadaan darurat dan guna pembangunan perumahan rakyat, proses pencabutan hak atas tanah dapat dilakukan dengan cara yang lebih singkat, namun secara keseluruhan, semangat yang ada dalam ordonansi tersebut sudah tidak sama dengan semangat yang dikedepankan dalam UUPA. Sebab semangat individualisme dan kekuasaan mutla atas tanah sebagaimana yang digariskan dalam pengertian hak eigendom berdasarkan hukum barat (Pasal 570 BW) tidak lagi sama dengan semangat kebersamaan dan gotong royong yang dianut di dalam UUPA yang tentunya lebih mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi. Atas dasar itulah sehingga ordonansi tersebut dicabut kemudian diterbitkanlah Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya.
Dalam pelaksanaannya UU No. 20 Tahun 1961 ini ditunjang dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1973 Tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian Oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan Dengan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya, dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1973 Tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya.
Namun seiring dengan perkembangan zaman, harus diakui bahwasanya ketiga ketentuan di atas tidak lagi sesuai dengan keadaan masyarakat yang berada dalam alam demokrasi. Karena kekuasaan pemerintah dalam mencabut hak atas tanah yang dimiliki oleh warga masyarakat begitu besar, sementara kekuasaan tersebut tidak dibarengi dengan tersebianya ruang yang cukup untuk pihak yang dirugikan dalam memperjuangkan hak-haknya. Sehingga perlahan-lahan ketentuan tersebut diperlunak dengan diterbitkannya peraturan-peraturan yang mengatur tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Adapun peraturan-peraturan yang pernah diterbitkan dan sebagian masih berlaku berkaitan dengan pengaddaan tanah untuk kepentingan umum, antara lain:
  1. Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya;
  2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;
  3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1973 Tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian Oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan Dengan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya;
  4. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1973 Tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya;
  5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang telah dicabut dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, kemudian diubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, selanjutnya dicabut dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang kemudian diubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;
  6. Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1994 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dicabut dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Yang selanjutnya dicabut dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;
  7. Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-31/PB/2008 Tentang Mekanisme Pembayaran Biaya Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Yang Dananya Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
  8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 58/PMK.02/2008 Tentang Biaya Panitia Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;

Karena banyaknya persoalan di dalam pembebasan tanah untuk kepentingan umum ini, maka pembahasannya secara lebih menyeluruh akan penulis bahas pada artikel-artikel selanjutnya.

Regards
Jun



[1] Lihat Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 6 UUPA.
[2] Lihat penjelasan umum Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya.

Mas Yadi

Author :

Seluruh artikel yang ada di Blog ini merupakan karya dari penulis sendiri, dan jika ada karya dari orang lain, maka sebisa mungkin akan penulis cantumkan sumbernya. Untuk memberikan Masukan, Saran, Sanggahan, dan Pertanyaan, silahkan menggunakan link Contact yang tersedia. Semoga artikel ini bermanfaat untuk Anda.
Share Artikel