PERJANJIAN
KERJA
By.
Junaiding[1]
Pengantar
Menurut
saya, sebelum membahas spesifik tentang perjanjian kerja, ada beberapa kata dan
makna kata yang harus kita pahami bersama, karena tidak jarang memberikan
kebingungan akan perbedaannya. Ada pekerja yang bekerja pada dan untuk orang
lain kemudian diberi upah maka jelas itu adalah pekerja. Namun untuk orang yang
bekerja pada dan untuk dirinya sendiri apakah bisa disamakan juga dengan
pekerja seperti yang sebelumnya. Untuk hal itu, KUHPerdata kita telah
mengaturnya di dalam Bab VIIA tentang Perjanjian Kerja, yang mana di dalam
Pasal 1601a KUHPer menyatakan “Perjanjian kerja ialah suatu persetujuan bahwa
pihak kesatu, yaitu buruh, mengikatkan diri untuk menyerahkan tenaganya kepada pihak
lain, yaitu majikan, dengan upah selama waktu yang tertentu”. Kemudian pada
Pasal 1601b KUHPer Menyatakan “Perjanjian pemborongan kerja ialah suatu
persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu pemborong, mengikatkan diri untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak lain, yaitu pemberi tugas, dengan
harga yang telah ditentukan”. Sehingga hal yang harus dibedakan pertama kali
ialah antara perjanjian kerja dengan perjanjian pemborongan kerja. Jika pekerja
menyerahkan tenaga dan keahliannya kemudian menerima imbalan maka itulah yang
dinamakan perjanjian kerja, namun jika pekerja memberikan hasil akhir dari
pekerjaannya dan menerima imbalan maka itulah yang dinamakan perjanjian
pemborongan kerja. Selain itu, ada beberapa istilah lain yang terkait dan perlu
untuk dipahami bersama, seperti Perjanjian Kerja Bersama (PKB), Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tentu (PKWTT).
Definisi
Di
dalam Pasal 1 angka (14) UU No. 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan
menyatakan “Perjanjian kerja adalah
perjanjian antara pekerja/buruh dengan
pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak”. Sehingga unsur-unsur
sebuah perjanjian kerja yakni:
- Dibuat antara pekerja dengan pengusaha;
- Berisi syarat-syarat kerja;
- Berisi hak masing-masing pihak; dan
- Berisi kewajibah dari para pihak.
Pertanyaannya,
ialah jika ke empat unsur diatas ada yang tidak terpenuhi, maka apakah masih
dapat dikatakan sebagai sebuah perjanjian kerja[2] ?.
Karena jika dalam perjanjian kerja tertulis, hampir keseluruhan perjanjian
kerja memuat ke empat unsur di atas namun bagimana dengan perjanjian kerja yang
tidak terlulis (lisan)[3],
apakah harus terpenuhi semua unsur di atas ?, atau tergantung pembuktian
nantinya yang akan sangat sulit membuktikan ke empat unsur di atas yang hanya
di bentuk berdasarkan kesepakatan lisan. Hal ini sangat penting karena
perjanjian kerja merupakan syarat terjadinya hubungan kerja antara buruh dan
pengusaha.[4]
Syarat Sahnya
Perjanjian Kerja
Di
dalam KUHPerdata kita mengenal ada 4 syarat sahnya perjanjian, tepatnya di
dalam Pasal 1320 KUHPer yang menyatakan:
“Supaya terjadi persetujuan yang sah,
perlu dipenuhi empat syarat;
1.
kesepakatan
mereka yang mengikatkan dirinya;
2.
kecakapan
untuk membuat suatu perikatan;
3.
suatu
pokok persoalan tertentu;
4.
suatu
sebab yang tidak terlarang”.
Kelihatannya
pasal inilah yang ditarik masuk ke dalam UU Ketenagakerjaan dengan memberikan
uraian bahasa dan kata-kata yang lebih spesifik dikhususkan untuk bidang
ketenagakerjaan. Hal ini terlihat pada Pasal 52 Ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan:
“Perjanjian kerja dibuat atas dasar:
a.
kesepakatan
kedua belah pihak;
b.
kemampuan
atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c.
adanya
pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d. pekerjaan
yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Konsekuensi
hukum jika ke empat dasar di atas tidak terpenuhi juga sama dengan yang
terdapat di dalam KUHPer yakni jika syarat subjektifnya (poin a dan b) tidak
terpenuhi maka dapat dibatalkan dan jika syarat objektifnya tidak terpenuhi
(poin c dan d) maka batal demi hukum.[5]
Perjanjian Kerja
Tertulis dan Tidak Tertulis
Di
dalam Pasal 51 Ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 menyatakan “Perjanjian kerja
dibuat secara tertulis atau lisan”. Kemudian jika kita mencermati Ayat (2) nya,
yang menyatakan “Perjanjian kerja yang dipersyaratkan
secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”, maka yang dapat menjadi
pertanyaan ialah mengapa hanya perjanjian kerja yang dipersyaratkan tertulis
saja yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan ? lalu
bagimana dengan perjanjian yang tidak disyaratkan secara tertulis ?. Untuk
memahaminya kita coba mengurai terlebih dahulu konsekuensi dan ketentuan dari
perjanjian kerja tertulis dan lisan.
Di
dalam Pasal 54 Ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 menyatakan:
“Perjanjian kerja yang dibuat secara
tertulis sekurang kurangnya memuat:
a.
nama,
alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b.
nama,
jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c.
jabatan
atau jenis pekerjaan;
d.
tempat
pekerjaan;
e.
besarnya
upah dan cara pembayarannya;
f.
syarat-syarat
kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;
g.
mulai
dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h.
tempat
dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i.
tanda
tangan para pihak dalam perjanjian kerja”.
Kemudian
didalam ayat selanjutnya dinyatakan bahwa khusus untuk ketentuan terkait dengan
besarnya upah, cara pembayaran, hak dan kewajiban masing pihak tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.[6]
Ketentuan Pasal 54 Ayat (2) ini seakan hanya merupakan pelengkap saja, tidak
substansial, sebab bukan hanya beberapa poin yang ada di dalam kontrak kerja
yang tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja
bersama, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, namun seluruh poin dan
ketentuan yang ada tidak boleh bertentangan. Hal seperti itu dapat di dasari
oleh dasar pembentukan kontrak kerja sesuai dengan Pasal 52 Ayat (1) UU No. 13
Tahun 2003, dan juga syarat sahnya kontrak yang dinyatakan dalam Pasal 1320
KUHPer. Mungkin ada yang mempertanyakan apakah peraturan perusahaan dan PKB merupakan
peraturan perundang-undangan ? untuk peraturan perusahaan tentunya tidak boleh bertentangan
dengan UU dan jika bertentangan maka tidak layak secara hukum untuk diikuti dan
dijadikan dasar, kemudian untuk PKB tentu suatu perjanjian akan menjadi UU bagi
yang membuatnya, sehingga tetap pula tunduk pada Pasal 1320 KUHPer. Kemudian ketentuan
lainnya terkait dengan perjanjian kerja tertulis ialah dibuat rangkap 2, satu
untuk pengusaha dan satunya lagi untuk buruh,[7]
serta tidak boleh ditarik atau diubah tanpa persetujuan kedua belah pihak.[8]
Dengan
ketentuan perjanjian kerja tertulis di atas, maka ada hal yang dapat menjadi
perdebatan, yakni jika kita kaitkan dengan Pasal 56 Ayat (1) UU No. 13 Tahun
2013 bahwa perjanjian kerja dibagi menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tentu (PKWTT). Kemudian PKWT disyaratkan harus
dibuat secara tertulis,[9]
dan jika tidak dibuat secara tertulis maka dinyatakan sebagai PKWTT.[10] Sehingga
jika dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) ada ketentuan terkait dengan
unsur atau ketentuan yang harus termuat di dalam perjanjian kerja tertulis
sesuai dengan Pasal 54 dan 55 UU No. 13 Tahun 2003 seperti yang dijelaskan
dalam paraggraf sebelumnya tidak termuat di dalam PKWT tersebut, maka
pertanyaan mendasar apakah perjanjian kerja tersebut batal demi hukum atau
dapat dibatalkan ?. Jika PKWT tersebut batal demi hukum berarti karyawan
tersebut harus dinyatakan sebagai PKWTT, dan jika PKWT tersebut dapat
dibatalkan maka pertama – tama harus dimohonkan pembatalannya, kemudian jika telah
dibatalkan maka hubungan kerja karyawan tersebut adalah PKWTT.
Regards
Jun
[1] Penulis adalah pemilik dan penulis seluruh artikel yang ada di
blog ini. Lulus dari Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, Makassar. Dan
merupakan penghuni baru di dalam rimba sebuah profesi yang dinamai “Advokat”.
[2] Dalam tahapan
ini, kita masih harus melihat syarat suatu perjanjian dikatakan sebagai
perjanjian kerja, dan jangan disamakan dengan syarat sahnya perjanjian kerja
atau yang dalam UU ketenaga kerjaan disebut dengan dasar dibuatnya perjanjian
kerja.
[3] Lihat
Pasal 51 Ayat (1) UU No. 13 Tahun 2013 Tentang Ketenagakerjaan.
[4] Ibid.,
Pasal 50.
[5] Ibid.,
Pasal 52 Ayat (2) dan (3).
[6] Ibid.,
Pasal 54 Ayat (2).
[7] Ibid.,
Pasal 54 Ayat (3).
[8] Ibid.,
Pasal 55.
[9] Ibid.,
Pasal 57 Ayat (1).
[10] Ibid.,
Pasal 57 Ayat (2).