Keabsahan Peraturan Perusahaan (PP)[1]

Pertanyaan:

Bila SP/SB mengajukan PKB, tapi pihak Perusahaan Menolak, dan membuat PP baru tanpa melibatkan SP/SB dan pihak disnaker mengesahkanya PP trsbt, bagai mana ke absahan PP baru nya, mohon pencerahan, mksh... (Jhonkey Indo Sitanggang)

Jawaban:

Pertama – tama kami akan mengasumsikan pertanyaan anda dengan kondisi sebagai berikut:
  1. SP/SB telah mengajukan Rancangan atau Permohonan untuk berunding guna membentuk PKB
  2. Pihak pengusaha Menolak
  3. Pihak Pengusaha membuat PP baru (berarti bukan diperpanjang / diubah) tanpa melibatkan SP/SB
  4. Pihak Disnaker megesahkan PP Tersebut.

Sebelum masuk ke pertanyaan anda, alangkah lebih baiknya jika kita mencoba memahami bersama maksa PP dan PKB itu berdasarkan aturan yang ada.

PKB dan PP

PKB sendiri didefinisikan oleh UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam Pasal 1 Angka (21) menyatakan:
Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak”.
Sementara itu dalam Pasal 1 angka (20) UU No. 13 tahun 2003 didefinisikan juga arti PP dengan menyatakan: “Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan”.

Jika hanya melihat definisi ini saja maka persamaan PP dengan PKB yakni sama-sama memuat Syarat-Syarat Kerja, namun pembedanya di dalam PP tidak harus memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak, begitu juga di dalam PKB tidak harus memuat tata tertib perusahaan. Namun jika memperhatikan Pasal 111 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2013[3], maka definisi PP dalam Pasal 1 angka (20) UU No. 13 Tahun 2003 di atas bisa dikatakan prematur.[4]

Hal lain juga yang perlu untuk kita perhatikan dan pelajari kembali yakni terkait dengan pertanyaan, ‘apakah PP dan atau PKB wajib ada di suatu perusahaan ?’. Untuk pertanyaan ini, jika kita menyimak beragam artikel dan pendapat maka hasilnya akan beragam pula, sehingga mari kita memahaminya berdasarkan aturan yang ada, bukan berdasarkan ‘katanya’.

Untuk PP, maka telah tergas dikatakan di dalam Pasal 108 ayat (1) UU No. 13 tahun 2003 yang menyatakan “Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk”. Namun jika kita melihat ketentuan tentang PKB baik itu di dalam UU No. 13 tahun 2003, maupun di dalam Permen No. PER.16/MEN/XI/2011 Tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama, tidak ditemuakn satu kalimatpun yang menyatakan bahwa PKB wajib untuk dibuat[5]. Kemudian jika kita menyimak bunyi Pasal 111 ayat (4) UU No. 13 tahun 2003 menyatakan “Selama masa berlakunya peraturan perusahaan, apabila serikat pekerja/ serikat buruh di perusahaan menghendaki perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama, maka pengusaha wajib melayani”, begitu juga di dalam Pasal 15 Permen No. PER.16/MEN/XI/2011 dengan narasi yang sedikit berbeda menyatakan “Pengusaha harus melayani serikat pekerja/serikat buruh yang mengajukan permintaan secara tertulis untuk merundingkan PKB dengan ketentuan apabila ...”. Sehingga jika kita akan menarik sebuah makna yang tersirat maka terbuka celah untuk menarik kesimpulan bahwa ‘PP merupakan HAK dan KEWAJIBAN dari pihak PENGUSAHA[6]. Kemudian PKB merupakan HAK dari pihak PEKERJA namun BUKAN KEWAJIBAN’.

Keabsahaan sebuah PP

Kembali ke Pertanyaan di atas. Untuk PP (Peraturan Perusahaan) secara umum diatur di dalam Bagian Enam Pasal 108 sampai dengan Pasal 115 UU No. 13 tahun 2003. Kemudian secara khusus diatur juga di dalam Permen No. PER.16/MEN/XI/2011 Tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama.

Selanjutnya terkait dengan pertanyaan bapak Indo Sitanggang tentang keabsahaan PP, maka pertama yang harus dipahami yakni PP merupakan hak dan kewajiban dari pihak pengusaha[7], dan kewajiban membuat PP dari pihak perusahaan itu menjadi hilang ketika telah ada PKB yang berlaku[8]. Sehingga jika PKB tidak ada maka perusahaan wajib untuk membuat PP.

Kemudian dalam proses pembuatan PP pengusaha diwajibkan untuk meminta saran dan pertimbangan dari pihak pekerja sebagaiman ditegaskan di dalam Pasal 110 ayat (1) UU No. 13 tahun 2003, yang menyatakan “Peraturan perusahaan disusun dengan memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan”, dan Pasal 4 ayat 1 Permen No. PER.16/MEN/XI/2011, yang menyatakan “PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dibuat dan disusun oleh pengusaha  dengan memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh di  perusahaan yang bersangkutan”. Namun meskipun pihak pengusaha diwajibkan untuk memperhatikan saran dan pertimbangan dari pihak pekerja, tidak ada kewajiban bagi pengusaha untuk mengikuti saran dan pertimbangan tersebut, karena pembuatan PP merupakan kewajiban dan tanggung jawab dari pihak pengusaha[9], sehingga saran dan pertimbangan yang diberikan oleh pihak pekerja kepada pengusaha tidak dapat diperselisihkan[10].

Setelah pengusaha membuat PP, maka wajib untuk dimintakan pengesahan kepada dinas atau instansi terkait[11], dengan persyaratan sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 8 ayat (2) Permen No. PER.16/MEN/XI/2011 yang menyatakan:
“Permohonan pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan:
a.       naskah PP yang dibuat dalam rangkap 3 (tiga) dan ditandatangani oleh pengusaha; dan
b.      bukti telah dimintakan saran dan pertimbangan dari serikat pekerja/serikat buruh  dan/atau wakil pekerja/buruh apabila di perusahaan tidak ada serikat pekerja/serikat buruh”.

Kemudian dalam hal pengajuan pengesahan PP tidak memenuhi persyaratan di atas maka pejabat terkait harus menolak dengan tertulis permohonan pengesahan PP tersebut.[12] Namun jika persyaratan di atas telah terpenuhi semua maka pejabat terkait wajib mengesahkan PP dengan menerbitkan surat keputusan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya permohonan.[13] Dengan demikian PP hanya akan berlaku atau sah jika telah diterbitkan surat keputusan pengesahan dari dinas atau instansi yang berwenang.

Oleh karena itu, jika patut diduga dengan didukung oleh alat bukti yang sah bahwa penerbitan surat keputusan pengesahaan PP tersebut bermasalah atau cacat hukum dikarenakan pihak pekerja tidak pernah diminta saran dan pertimbangannya oleh pengusaha sebagaimana yang disyaratkan dan telah diuraikan dalam beberapa pasal di atas, maka pihak yang merasa dirugikan (dalam hal ini pihak pekerja) dapat melakukan upaya hukum terhadap surat keputusan pengesahaan PP tersebut, misalnya dengan cara mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, sehingga jika nantinya gugatan anda dimenangkan dan surat keputusan pengesahaan PP tersebut tidak berlaku dan berkekuatan hukum, maka secara otomatis PP juga tidak memiliki kekuatan hukum.


Regards

Dasar Hukum:
1.      Permen No. PER.16/MEN/XI/2011 Tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama
2.      UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan




[1] Artikel ini merupakan jawaban atas pertanyaan yang kami terima di Facebook resmi LBH-CN. Kami memberikan jawaban atas dasar dan perkiraan kasus dengan hanya berdasarkan informasi yang anda berikan, tidak berdasarkan data resmi yang diberikan oleh pihak penanya. Sehingga jawaban ini BUKANLAH MERUPAKAN SARAN HUKUM , namun hanya merupakan upaya untuk saling mengingatkan dan memberitahu pengetahuan kepada pihak yang memerlukan.
[3] Pasal 111 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan:
“Peraturan perusahaan sekurang-kurangnya memuat:
a.        hak dan kewajiban pengusaha;
b.       hak dan kewajiban pekerja/buruh;
c.        syarat kerja;
d.       tata tertib perusahaan; dan
e.       jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.
[4] Saya katakan prematur karena sebuah definisi menggambarkan unsur dan atau ciri-ciri, dan di dalam definisi tentang PP dalam pasal 1 huruf (20) UU No. 13 Tahun 2003 tidak disebutkan ‘hak dan kewajiban masing-masing pihaksebagai muatan yang harus terkandung di dalam PP.
[5] Pendapat seperti ini memang sering berbeda, misalnya saja melalui artikel di http://menteri.depnakertrans.go.id/?show=news&news_id=162 dengan judul “Muhaimin Dorong Perusahaan membuat PKB dengan Serikat PekerjaMenakertrans Muhaimin Iskandar menyatakan bahwa PKB itu wajib, namun sayangnya tidak titegaskan di dalam artikel tersebut pasal mana yang mewajibkan PKB tersebut, atau pandangan yang menyatakan PKB itu wajib merupakan hasil interpretasi dari suatu pasal, hal seperti ini kiranya menjadi perhatian kedepannya.
[6] Kewajiban pengusaha untuk membuat PP hilang jika telah dibuat PKB. Lihat Pasal 108 ayat (2) UU No. 13 tahun 2003, yang menyatakan “Kewajiban membuat peraturan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi perusahaan yang telah memiliki perjanjian kerja bersama”.
[7] Pasal 108 ayat (1) UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
[8] Ibid., Pasal 108 ayat (2).
[9] Pasal 5 Permen No. PER.16/MEN/XI/2011 Tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama.
[10] Ibid., Pasal 4 ayat (6).
[11] Ibid., Pasal 7.
[12] Ibid., Pasal 8 ayat (5).
[13] Ibid., Pasal 8 ayat (6).

Mas Yadi

Author :

Seluruh artikel yang ada di Blog ini merupakan karya dari penulis sendiri, dan jika ada karya dari orang lain, maka sebisa mungkin akan penulis cantumkan sumbernya. Untuk memberikan Masukan, Saran, Sanggahan, dan Pertanyaan, silahkan menggunakan link Contact yang tersedia. Semoga artikel ini bermanfaat untuk Anda.
Share Artikel