Pic By.
stockillustrations.fanaticstudio.com

Penggelapan (Pidana) DALAM Kesepakatan Bisnis (Perdata)

Tidak jarang kesepakatan bisnis yang terjadi antar subjek hukum (Orang atau badan hukum) di dalam masyarakat berujung pada permasalahan yang tidak diharapkan. Awal mula penjajakan bisnis. Mulai dari negosiasi, membuat kesepakatan, penandatanganan kontrak, sampai dengan tahap pelaksanaan awal kesepakata bisnis berjalan dengan baik dan lancar. Namun di tengah jalan, terjadi hal-hal yang menyebabkan berubahnya orientasi dari salah satu pihak sehingga kesepakatan bisnis yang telah dibuat tidak dapat terselesaikan sebagaimana yang telah disepakati.

Agar lebih mudah memahami bahasan kali ini, berikut penulis uraikan 2 contoh kasus:

Contoh kasus 1

Si A dan si B sudah sering menjalin kerja sama bisnis. Suatu hari si A menawarkan produk yang ia produksi kepada si B. Namun karena si A tidak mepunyai cukup modal untuk biaya produksi, maka dia meminta si B memberikan uang muka sebesar 50% yang akan digunakan oleh si A untuk memproduksi barang pesanan si B dengan tenggang waktu produksi selama 5 bulan (katakanlah dengan nilai kontrak sebesar 1 Miliar – 50% - berarti 500 Juta). Si B setuju dan kesepakatan bisnis dibuat kemudian uang muka 500 juta diberikan oleh si B kepada si A. Ketika si A menghubungi suplayernya untuk memesan bahan baku, salah seorang suplayernyapun menawarkan dia untuk berbisnis lain dengan keuntungan yang lebih menggiurkan (katakanlah bisnis jual beli property). Si A kemudian membuat perhitungan ulang, dengan kesimpulan dia bisa memproduksi barang pesanan si B hanya dalam tempo waktu 3 bulan, dan waktu dua bulan di depan dia akan gunakan uang 500 juta tersebut untuk berinvestasi di properti dengan kalkulasi keuntungan 200 juta, sehingga dia dapat memperoleh keuntungan ganda. Setelah berinvestasi properti, pasar property anjlok dan si A kehilangan uang 500 juta yang dijadikan modalnya tersebut. waktu pengiriman barang pesanan si B telah tiba, si A tidak dapat memenuhinya, shingga si B kesal dan akan melakukan upaya hukum. Pertanyaannya, upaya hukum seperti apa yang dapat diambil....?

Contoh Kasus 2

Si A dan si B sepakat untuk kerja sama dalam bidang jual-beli kelapa sawit. Si A memiliki relasi bisnis, dan si B memiliki modal berupa uang. Mereka berdua akan membeli sawit dari petani kemudian menjualnya ke pabrik pengelolaan. Karena si A yang memiliki relasi, maka transaksi keuangan dilakukan oleh si A. Ketika uang diserahkan oleh si B kepada si A, ternyata si A tidak menggunakan uang tersebut untuk membeli sawit dari petani, namun menggunakannya untuk melunasi utangnya kepada si C. Si B kesal dan akan menuntut uangnya dikembalikan sekaligus memberikan efek jera kepada si A karena si B merasa telah dibohongi oleh si A. Tindakan hukum seperti apa yang dapat diambil oleh si B ...?

Dalam kondisi yang demikian, maka pihak yang dirugikan harus memahami atau mengerti terkait dengan tindakan hukum yang harus dilakukan untuk mengembalikan kerugiannya dan/atau cara untuk memberikan efek jera kepada pihak yang menyebabkan timbulnya kerugian.

Oleh karena itu, pertama-tama yang harus dilakukan oleh pihak yang merasa dirugikan ialah menentukan tujuan dari upaya hukum yang akan dia lakukan. Apakah tujuannya untuk memperoleh ganti rugi atau untuk memberikan efek jera kepada pelaku. Karena kedua tujuan ini memiliki jalur proses hukum yang berbeda. Yang satunya melalui jalur perdata dan yang satunya lagi melalui jalur proses hukum secara pidana.

Proses Pidana

Sesuai dengan contoh kasus di atas, maka jika tujuan dari si B adalah untuk memberikan efek jera kepada si A, maka dia harus menempuh upaya hukum pidana dengan melaporkan si A kepada pihak berwajib dengan dugaan telah melakukan tindak pidana PENGGELAPAN. Adapun terhadap tindak pidana penggelapan, salah satunya diatur dalam Pasal 372 KUHP menyatakan:

Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.

Unsur-unsur pasal di atas ialah:
  1. Barang siapa (orang atau badan hukum = subjek hukum);
  2. Dengan sengaja dan melawan hukum;
  3. Memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain;
  4. Barang tersebut ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan.

Jika ke empat unsur di atas terpenuhi secara keseluruhan, maka tindakan tersebut termasuk pidana penggelapan. Dan berdasarkan contoh kasus di atas, jika diuraikan pemenuhan unsur tindak pidana penggelapannya berdasarkan Pasal 372 KUHP di atas, dapat diuraikan sebagai berikut:
  1. Barang siapa = si A
  2. Dengan sengaja dan melawan hukum = si A sengaja untuk mengalihkan penggunaan uang yang diberikan oleh si B tanpa persetujuan si B, sehingga penggunaan uang tidak sesuai dengan kepakatan dan telah merugikan si B.
  3. Memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain = uang yang ada pada si A merupakan uang milik si B, yang mana uang tersebut sah menjadi milik si A ketika si A memenuhi kesepakatan yang telah mereka buat.
  4. Barang tersebut ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan = si A memperoleh uang tersebut dengan jalan yang dibenarkan oleh hukum (bukan dengan merampok atau mencuri), dan si B menyerahkan uang tersebut tanpa ada paksaan.

Sehingga untuk kasus di atas, si A dapat dikatakan telah melakukan tindak pidana penggelapan, dan jika si B menginginkan agar si A mendapatkan efek jera terhadap perbuatannya, maka si B dapat melaporkan si A kepada pihak berwajib (Kepolisian) dengan dugaan tindak pidana penggelapan sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 372 KUHP. Namun perlu untuk diketahui bahwasanya proses pidana yang dilakukan tidak akan menghasilkan ganti kerugian bagi pihak yang dirugikan, karena tujuan dari proses pidana yakni untuk memberikan efek jera kepada pelakunya. Sehingga jika pihak yang dirugikan (berdasarkan contoh kasus di atas yakni si B) menginginkan ganti rugi atas kerugian yang dideritanya, maka dia dapat menempuh proses hukum secara perdata.

Jika kita melihat fakta di lapangan, memang ada beberapa kasus yang pelapornya (pihak yang merasa dirugikan) kecewa karena setelah membuat laporan, namun tidak ada tindak lanjut proses hukumnya secara pidana. Hal demikian bisa memunculkan beragam kemungkinan, yakni:
  1. Tidak cukupnya alat bukti. Karena syarat untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka ialah adanya bukti permulaan yang cukup (LP + 2 Alat Bukti).
  2. Pihak penyidik tidak melanjutkan proses pidananya karena masih ada sengketa perdata. Hal seperti ini biasanya terjadi terhadap kasus sengketa pertanahan, yang mana antara kedua belah pihak sama-sama membuat laporan polisi terkait tindak pidana penyerobotan. Dalam kasus seperti ini memang pihak penyidik seringkali merekomendasikan untuk diselesaikannya terlebih dahulu sengketa kepemilikan atas tanah tersebut, agar jelas siapa yang menyerobot dan siapa yang diserobot, berdasarkan bukti hak milik.
  3. Adanya dugaan permainan oknum pihak yang berwajib. Jika hal seperti ini terjadi, maka pihak pelapor dapat melaporkan oknum tersebut kepada pihak yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait dengan pengawasan instansi tempat oknum tersebut berada, baik secara internal maupun eksternal.

Intinya ialah, lakukan pemantauan perkembangan laporan  dugaan tindak pidana yang anda laporkan tersebut. salah satunya ialah dengan cara meminta Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP).

Proses Perdata

Proses hukum secara perdata, berarti mengajukan gugatan ke pengadilan yang berwenang mengadili, dengan tuntutan ganti kerugian yang diderita oleh pihak yang dirugikan. Perlu diketahui bahwasanya gugatan perdata secara garis besar dibedakan menjadi gugatan wanprestasi dan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH). Tidak ada ketentuan yang mengikat apakah seseorang harus mengajukan gugatan wanprestasi atau PMH, sehingga pemilihan satu diantara keduanya penting untuk didasari dengan dasar alat bukti yang dimiliki oleh penggugat.

Jika terdapat alat bukti berupa surat, baik itu surat perjanjia, atau surat apapun yang menunjukkan adanya kesepakatan antara pihak yang dirugikan dengan pihak lain, dengan kadar kebenarannya cukup kuat untuk membuktikan adanya hubungan hukum perdata, maka gugatan wanprestasi lebih baik diajukan. Jika perjanjian/kesepakatan bisnis anda di dasari hanya dengan rasa kepercayaan dan dilakukan dengan lisan, tanpa ada alat bukti tertulis, maka perlu untuk dipertimbangkan mengajukan gugatan PMH. Selengkapnya tentang gugatan wanpretasi dan PMH dapat dilihat di sini.

Kemudian sebelum mengajukan gugatan, baik itu gugatan Wanprestasi ataupun PMH, maka perlu untuk memperhatikan syarat formil dari gugatan anda, agar Majelis Hakim yang memeriksa perkara anda nantinya, tidak menolak atau menyatakan gugatan anda tidak dapat diterima (niet ontvankelijk). Karena, jika syarat formil gugatan anda tidak terpenuhi maka lawan anda nantinya dapat mengajukan eksepsi dan sangat mungkin untuk dikabulkan oleh Majelis hakim. Mengenai pembahasan eksepsi dapat dibaca di sini.

Setelah syarat formil gugatan anda terpenuhi, maka syarat materil juga jangan terabaikan. Dan di sinilah anda harus memperhatikan secara cermat teknik penyusunan gugatan agar mudah dipahami oleh Majelis Hakim, khususnya tentang inti persoalan di dalam kasus anda tersebut. Dan jangan, agar anda tidak hanya menang di atas kertas saja, maka perlu kiranya anda memohonkan kepada majelis hakim untuk menyatakan sita jaminan (conservatoir beslag) atas harta kekayaan pihak tergugat, sekaligus pembayaran uang paksa (dwangsom) jika putusan nantinya berkekuatan hukum tetap.

Kesimpulan
  1. Jika anda menghadapi kasus seperti contoh di atas, maka jangan panik, stay cool & be smart. Perhatikan duduk persoalannya, tentukan tujuan anda dan lakukan tindakan hukum sesuai jalurnya.
  2. Laporkan ke pihak berwajib untuk dugaan tindak pidananya agar ada efek jera kepada pelaku, dan siapkan gugatan anda untuk memperoleh ganti kerugian terhadap kerugian yang anda derita.
  3. Sekadar tips jika anda adalah pelaku, dan buka pihak yang dirugikan namun yang merugikan. Maka upayakan jalur damai. Temui rekan bisnis anda yang anda rugikan tersebut, tawarkan solusi damai yang pasti dan tidak merugikannya lagi, kemudian jangan lupa untuk minta maaf.


Regards

Jun

Mas Yadi

Author :

Seluruh artikel yang ada di Blog ini merupakan karya dari penulis sendiri, dan jika ada karya dari orang lain, maka sebisa mungkin akan penulis cantumkan sumbernya. Untuk memberikan Masukan, Saran, Sanggahan, dan Pertanyaan, silahkan menggunakan link Contact yang tersedia. Semoga artikel ini bermanfaat untuk Anda.
Share Artikel